Langsung ke konten utama

Ketika Komunikasi Internasional Itu Bernama: Obama



Pada pertengahan November 2010 lalu, selama beberapa hari kedatangan presiden Amerika; Barrack Obama menjadi headline berita pada sebagian besar emdia di Indonesia dan dunia. Apa yang menarik dari lawatan beliau tersebut? Apa lantaran beliau mewakili negara adidaya seperti Amerika Serikat? Atau karena beliau adalah presiden Amerika Serikat yang pernah tinggal di Indonesia? Atau karena dua – duanya?
Banyak pendapat bermunculan mengenai kedatangan presiden negara adidaya tersebut di Indonesia. Apapun pendapat itu, saya mempunyai pendapat tersendiri mengenai kemampuan komunikasi Barrack Obama selama mengunjungi Indonesia ditinjau dari perspektif komunikasi internasional.
     Ketika Obama menjalankan misi diplomatiknya di Indonesia, cara verbal yang ingin diungkapkannya adalah dengan mendalami cara berkomunikasi dengan budaya bangsa Indonesia yang secara teori disebut sebagai Komunikasi Antarbudaya. Hal ini tampak ketika Obama berbicara sebagai berikut (sudah diterjemahkan oleh courtessy US Embassy Jakarta) :

“Seperti negara-negara Asia lain yang saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia sangat spiritual -– tempat di mana orang menyanjung Tuhan dengan banyak cara berbeda. Bersamaan dengan keragaman yang kaya raya ini, Indonesia juga memiliki populasi Muslim terbesar –- sebuah fakta yang saya temui sebagai anak kecil ketika saya mendengar panggilan untuk shalat di seluruh Jakarta. “

Selain itu, memang banyak ungkapan Obama dalam kuliah singkatnya di Universitas Indonesia pada 10 November silam yang mengacu pada pemahaman antarbudaya terutama Indonesia Amerika.
Dengan berbicara dalam format komunikasi kelompok di UI tersebut, Obama seolah – olah mengeksplorasi interpersonal audines dengan menyisipkan kata – kata yang menggugah tepuk tangan karena dianggap dekat dengan hati dan karakter audiensinya seperti menyapa dengan “Pulang kampong nih…” menyanjung ideology Negara kita tentang Bhinneka Tunggal Ika dan sebagainya.
     Apa kepentingan Obama menyentuh sisi – sisi kognitif audiensinya hingga mengundang tepuk tangan dan kekaguman tersebut? Tentu saja karena dia memliki misi politik. Komunikasi politik dalam kuliah singkatnya terasa begitu halus dan abstrak karena dikemas dengan bahasa – bahasa yang personal-oriented tersebut. Namun saya mencoba menangkap pesan politik yang ada dalam pidato Obama ketika berada di Indonesia tersebut, kutipannya adalah sebagai berikut;

“Bergandengan tangan, inilah makna pembangunan dan demokrasi, bahwa nilai-nilai tertentu bersifat universal. Kemakmuran tanpa kebebasan adalah bentuk lain kemiskinan. Karena ada aspirasi yang dirasakan umat manusia –- kebebasan untuk mengetahui bahwa pemimpin anda bertanggung jawab kepada anda, dan bahwa anda tidak akan dipenjara karena ketidaksepakatan dengan mereka; kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan untuk dapat bekerja dengan martabat; kebebasan untuk beribadah tanpa rasa takut atau pembatasan. “

Dalam materi di atas, Obama nampak menyanjung konsep pemerintahan kita yaitu demokrasi, namun dia juga menyisipkan kepentingan politis negaranya berupa ideology liberalisme yang tampak melalui kata “kebebasan….. bahwa anda tidak akan dipenjara karena ketidaksepakatan dengan mereka…”
     Sebagaimana proses penyebaran komunikasi internasional pada umumnya, misi Obama-pun tidak lepas dari peran media massa sebagai media yang berperan aktif dalam menyebarnya pesan – pesan yang dikomunikasikan Obama di Indonesia secara internasional. Tentu saja hal yang membuat media massa dengan suka rela melibatkan mereka ke dalam penyebaran komunikasi Obama di Indonesia adalah kepiawaian Obama mengelaborasi unsur – unsur komunikasi internasional secara smooth dan efektif. Setidaknya hal itulah yang mampu mebuatnya sebagai seorang kepala Negara dengan predikat “outstanding” setidaknya dalam beberapa waktu ke depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer