Langsung ke konten utama

The Ad of War



Kita harus memikirkan bukan saja bentuk pemerintahan apa yang terbaik,
namun juga apa yang mungkin dan paling mungkin dicapai oleh semua.”
(Aristoteles, Politics, IV, 1)

Sebut saja semua nama-nama pahlawan yang telah gugur karena berusaha mewujudkan suatu Negara merdeka bernama Republik Indonesia, waktu itu mereka semua memiliki tujuan yang sama: berjuang bersama untuk membentuk suatu kedaulatan merdeka dan melepaskan diri dari penjajahan. Namun bila melihat ilustrasi di atas, terlihat iklan politik dari Capres PDIP Megawati kepada Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Ilustrasi tersebut dipetik penulis dari sebuah media yang dilansir pada pemilihan presiden tahun 2009 silam.
Apa yang dimunculkan baik oleh Megawati dan SBY tersebut tentu bagian dari komunikasi politik mereka. Karena selain berada pada momentum kampanye pemilihan presiden juga keduanya membawa atribut partai masing-masing dalam iklan di media cetak tersebut. Lalu, karakteristik seperti apa yang menggolongkan iklan cetak seperti di atas adalah bagian dari komunikasi politik? Dalam  teori yang dikembangkan oleh Kenneth Burke mengenai ‘terministic screen’ menjelaskan bahwa, dalam berkomunikasi, manusia cenderung memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya. Melihat apa yang tercantum dalam iklan itu, penulis menilai terministic screen yang dirancang oleh kedua capres tersebut bertujuan untuk mewujudkan obsesi mereka menjadi presiden pada periode 2009-2014 (pada kenyataannya dimenangkan oleh SBY). Pertanyaan yang ingin diajukan penulis terhadap rilis iklan seperti itu adalah: Apa yang sebenarnya ingin mereka perjuangkan? Rakyat atau diri mereka sendiri?
Masih merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politics, Negara bermula “dalam kebutuhan hidup yang nyata” dan berlanjut “dalam keberadaan untuk memperoleh kehidupan yang baik… dan bukan untuk kehidupan semata,” sebab “jika kehidupan semata menjadi tujuan, budak dan binatang-binatang yang kejam bisa membentuk Negara.” Apabila kedua capres berorientasi pada kehidupan mereka dengan upaya meyakinkan public bahwa mereka layak menjadi presiden maka menurut penulis hal tersebut tidak ubahnya bila mereka menjadi pemimpin Negara ini, secara atmosfer akan membentuk sistem pemerintahan mirip hukum rimba – semau gue.
Esensi suatu pemimpin dan Negara menurut Aristoteles adalah harus benar-benar peduli dengan karakter warganya, ia harus mendidik dan membiasakan mereka  dalam kebajikan, ia juga harus memberikan kesempatan kepada mereka untuk meraih hal-hal semacam ekonomi, moral dan intelektualitas yang dibutuhkan untuk kehidupan yang lebih baik. Paham tersebut terlihat bertentangan dengan iklan politik yang disampaikan oleh kedua capres tersebut yang berusaha mengambil simpatik publik melalui isu kenaikan harga BBM. Hal tersebut bukanlah media mengedukasi warga melainkan lebih pada menjual mimpi tentang cara mereka yang seolah-olah akan menjadi pahlawan bagi seluruh rakyat Indonesia yang begitu sensitif dengan harga BBM. Dalam pandangan penulis, iklan politik yang mereka sampaikan bukanlah menunjukkan bahwa mereka adalah calon pemimpin bangsa melainkan menjadi pemimpin Negara di sebuah sinetron; ceritanya tidak jelas dengan intrik yang dibuat-buat dan reaktif dengan tindakan lawan main. Apalagi berdasar gambar di awal, iklan politik Megawati selaku capres PDIP dan SBY dari demokrat berada pada halaman yang berdekatan. Sungguh lucu melihat calon pemimpin Negara ini melakukan perang iklan di media massa.
Itulah mengapa penulis memilih judul “The Ad of War” bukan sekedar memlesetkan “The Art of War” karangan Sun Tzu, juga karena iklan yang ditampilkan kedua capres tersebut menunjukkan ada “perang” di antara mereka; perang merebut simpatik rakyat. Hal yang akan dikorelasikan oleh penulis di sini adalah; andai saja para capres tersebut mencoba sedikit belajar strategi perang dari Sun Tzu supaya permainan politik mereka lebih cantik. Penulis pikir, bukannya Megawati atau SBY tidak tahu apa itu strategi Sun Tzu yang jelas sepertinya mereka tidak mau tahu.
Meski akhirnya SBY menang dan menjabat sebagai presiden, menurut pengamatan penulis, kemenangan bukanlah karena SBY paham strategi yang lebih lihai. Hal tersebut dibuktikan dengan dia yang langsung memberikan artikel klarifikasi tentang harga BBM ketika ada artikel dari Megawati yang mengkritisi kenaikan harga BBM pada saat pemerintahan SBY periode 2004-2009 silam.
Dalam strategi ke-13 Sun Tzu; kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya, bermakna ketika anda tidak mengetahui rencana lawan secara jelas, serang dan pelajari reaksi lawan. Perilakunya akan membongkar strateginya. Setidaknya melalui iklan yang dimunculkan Megawati adalah berusaha untuk membongkar strategi SBY tentang harga BBM, naifnya SBY justru membalasnya dengan membeberkan maksud pemberian harga BBM lebih detil sebagai bagian dari programnya untuk menjadi presiden terpilih, justru reaksi inilah yang ingin di dapat oleh Megawati sebagai lawan.
Namun bukan berarti Megawati telah bermain strategi dengan piawai, nyatanya Megawati tidak mejadi presiden terpilih pada peride 2009-2014 ini. Dalam iklan yang menantang perang tersebut, Megawati terlihat terlalu sibuk mencari keburukan lawan politiknya. Seharusnya Megawati bisa mencoba strategi “Jebakan Indah” dengan menyanjung SBY sebagai lawan politiknya, menunjukan simpatisme. Hal seperti ini bisa membuat lawan merasa berada di atas angin sehingga dia lupa menyusun konsep yang lebih terarah untuk programnya nanti. Dari amatan penulis, model strategi ini pernah diterapkan oleh Barrack Obama. Ketika calon wakil presiden dari calon presiden Mc Cain, Sarah Palin banyak mencari sisi buruk Obama, Obama justru merilis bentuk simpatinya terhadap Sarah Palin yang saat itu sempat mendapat rumor tidak sedap dikarenakan anak perempuannya hamil di luar nikah.
Sebenernya, akan tampak lebih elegan ketika SBY tidak reaktif terhadap perang iklan yang diajukan Megawati, cukup dengan membuat Megawati kelelahan karena terlalu banyak mencari sisi buruk dari lawan-lawan politiknya dan SBY bisa menghemat tenaga untuk memantapkan programnya sendiri. Meski tidak pernah ada kemenangan yang sempurna, tetap saja iklan politik dari pihak SBY sebagai capres yang seolah-olah menanggapi iklan politik Megawati tersebut bagi penulis tampak sangat reaktif dan justru lebih berkesan mengesampingkan arti sebuah Negara yang akan dia pimpin ketika memenangkan pemilu nantinya.

Daftar Pustaka

Aristotle. Politics. Modern Library Edition (New York: Random House). Everyman’s Library (New York: Dutton)
Neuliep, James W,.1996. Human Communication Theory and Case Study. Boston: Allyn and Bacon
Schmandt, Henry J,. 1960. A History of Political Phylosophy. New York: The Bruce Publishing Company
http://all-mistery.blogspot.com/2010/07/36-strategi-perang-ala-sun-tzu.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer