Langsung ke konten utama

(Not) The Last Supper


Seperti mengalami déjà-vu ketika melihat poster film berjudul Surplus di atas. Iya, konfigurasi pose dalam poster itu mirip dengan lukisan tentang Yesus dengan ke-dua belas muridnya yang dilukis oleh Leonardo Da Vinci berjudul The Last Supper (Perjamuan Terakhir). Namun, makna yang terkandung dalam film Surplus yang menyajikan George W. Bush sebagai central dalam gambar posternya, tidaklah menyajikan sesuatu tentang “perjamuan terakhir”. Film ini justru menyajikan serangkaian perjamuan yang dirangkai sedemikian rupa untuk memegang kendali kehidupan masyarakat global.

Surplus diarahkan oleh Erik Gandini, diproduksi oleh Atmo untuk SVT 2003 dengan dukungan dari Institut Film Swedia dan Film Nordic dan TV-Fond;. Difoto oleh Carl Nilsson & Lukas Eisenhauer; diedit oleh Johan Soderberg; menampilkan John Zerzan, Kalle Lasn, Bill Gates, Steve Ballmer, George W. Bush, Fidel Castro, Tania, Svante Tidholm; ditembak di Genoa (Italia), Shanghai, Alang (India), Amerika Serikat, Kuba, Budapest dan Stockholm.

Berkisah tentang perbedaan dua Negara dalam hal memandang teror iklan, Film ini bercerita dalam sebuah gambar yang dinamis, mengenai seberapa pentingnya iklan bagi masyarakat, kebebasan berbelanja sampai dibuat sebuah aturan. Di Negara kuba dicontohkan dengan masyarakatnya yang sama sekali tidak pernah terpengaruh dengan tayangan televisi. Sedangkan di Negara Amerika bahkan kebiasaan berbelanja sampai mengantri panjang, Awal dari sebuah film ini digambarkan dengan adanya demo pengerusakan simbol-simbol makanan cepat saji dari Amerika, sampai pada pembelian boneka seks pun warga Amerika diberikan kebebasan dengan aneka pilihan bentuk dan rupa seseorang.

Film dokumenter ini juga menampilkan sebuah realitas dunia yang mayoritas dipengaruhi oleh budaya kapitalis yang berlawanan dengan budaya sosialis. Ditampilkannya video kerusuhan G8 di Genoa, beberapa adegan yang dikontraskan kehidupan barat dengan kehidupan pekerja kasar yang ada di India, kehidupan mewah penuh kesenjangan sosial dengan kehidupan rakyat di Kuba yang jauh dari hiruk pikuk budaya komersialisasi, cara doktrinasi dari masing masing paham tersebut dengan motivasi tertentu dan tentunya dapat kita jumpai di kehidupan nyata, terutama di negara negara dunia ketiga, testimoni dari para profesor tentang lembaga WTO yang secara gamblang dijelaskan sangat merugikan negara negara berkembang dan menekankan pada budaya komersial yang menguntungkan segelintir pihak tanpa memikirkan kehidupan dan imbasnya yang merusak keseimbangan alam. Surplus dapat secara akurat digambarkan sebagai sebuah film anti-kapitalis yang kritis dan tidak sopan terhadap otoritas. Isi dan gaya film ini lebih banyak mengecewakan dan keprihatinan pihak anti-kapitalis tentang realitas yang terjadi dewasa ini.

Kenapa film ini menjadi penting untuk diungkap dan dibahas, mari kita lihat realita yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Atas nama globalisasi, masyarakat dunia sudah menjadi masyarakat konsumen. Globalisasi yang dibawa telah mengubah kehidupan. Tragedi ekonomi sosial dan ekologis dunia semakin tidak terkendali. Munculnya perusakan dan penghancuran properti bukan tanpa sebab, masyarakat merasa bahwa terjadi kekerasan di lingkungan sekitar mereka. Dalam hal ini kekuasaan berpengaruh terhadap kekerasan. Kekuasaan kapitalis global telah memberikan dampak kuat untuk menguasai masyarakat . Teror konsumerisme mengakibatkan masyarakat “dipaksa” untuk menjadi konsumen atas produk-produk kapitalis. Realita/ empirik sebagai konsumen tidak tahu persis apa yang mereka konsumsi. Kehendak konsumsi sudah meneror manusia dan membentuk dunia baru di mana masyarakat sudah tidak mampu untuk membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginannya”.

Hal yang lebih mendalam lagi tentang teror konsumerisme yang direfleksikan melalui “Surplus” adalah Teror konsumerisme yang dilakukan warga amerika terhadap dunia telah menimbulkan kecaman dari berbagai Negara, salah satu contohnya ialah Negara kuba yang dipimpin oleh fidel castro. Sang pemimpin berpidato di depan rakyatnya, menyerukan jangan terpengaruh terhadap iklan dan tayangan televisi maka di Negara Kuba tidak ada iklan televisi yang menayangkan produk-produk untuk dikonsumsi. Sampai-sampai disepanjang jalan di Negara Kuba terpampang spanduk ataupun reklame yang menuliskan sekaligus mengingatkan bahwa konsumsilah apa yang penting saja. Pesan ini terus digembar gemborkan di Kuba, supaya rakyatnya tidak mengenal istilah berbelanja, apalagi berbelanja dengan keperluan yang tidak penting.  Secara signifikan bertolak belakang dengan prinsip yang diterapkan oleh Amerika, bahwa di Amerika warganya diajari untuk berbelanja dengan bebas.

Prinsip konsumerisme yang diglobalkan oleh Amerika, berkorelasi dengan pesan-pesan perusahaan kelas dunia untuk memotivasi karyawannya dengan slogan “I Love This Company” seperti cuplikan yang ditampilkan dalam konferensi Microsoft. Motivasi tersebut bertujuan untuk merealisasikan orang bekerja secara keras untuk memenuhi kebutuhan berbelanja mereka secara bebas dan yang diuntungkan tentu saja pasar global: sebuah perjamuan yang dipersembahkan oleh Amerika. Dalam hal ini, Globalisasi akan mengakibatkan terbentuknya “manusia robot” ketika manusia mengalami yang namanya “hilangnya identitas kemanusiaan” dikarenakan konsumerisme yang berlebihan. Kenyataannya, tanpa disadari terkadang seseorang mengidentifikasi dirinya sendiri berdasarkan apa yang ia tonton, apa yang ia baca, apa yang ia kenakan, apa yang ia makan di pagi hari, apa yang ia pilih sebagai perabot rumah tangganya, atau bahkan hal-hal (yang terlihat) sepele lainnya. Peradaban manusia saat ini rusak karena konsumerisme.

Lain halnya dengan Kuba yang mendeklarasikan anti konsumerisme dan semangat bekerja kepada rakyatnya sehingga prinsip sosialis dapat dicapai yaitu pemerataan kesejahteraan rakyat dengan adanya jatah kebutuhan pokok kepada semua masyarakat secara cuma-cuma. Karena dari sisi pandangan sosialis dikatakan bahwa tidak ada nilai lebih masyarakat atas kebudayaan consumerism. Bahkan tidak ada alasan mengapa hal ini akan terus dilestarikan. Kekerasan menurut pandangan mereka adalah merupakan suatu kondisi ketika manusia dipaksa untuk terus berbelanja dan bekerja.

Syok terapi yang dimunculkan dalam “Surplus” di awal adalah gambar tentang demonstrasi terhadap symbol-simbol restoran cepat saji Amerika. Demonstrasi maupun perang propaganda menentang kapitalisme bukanlah sesuatu hal yang terbentuk atau terjadi secara tiba-tiba. Kesadaran dan kemampuan berpikir masyarakat untuk mencetak sebuah “perubahan” akan menimbulkan gerakan-gerakan perlawanan terhadap produk kapitalis. Produk kapitalis merupakan simbol adanya kekuasan kapitalis terhadap masyarakat. Dalam kondisi seperti ini masyarakat mendambakan mempunyai kehidupan yang lebih baik dan  terlepas dari kendali kapitalis serta mempunyai sebuah kehidupan yang memungkinkan masyarakat dapat hidup secara “sederhana”, seperti apa yang pernah diungkap oleh Mahatma Ghandi "Bumi menyediakan banyak untuk kebutuhan semua orang, tapi tidak untuk keserakahan semua orang."

Disusun oleh: Ardhi Widjaya, Winanti P, Fajar DwiPa, Amelia Fresha, Priyadi & Friska Mayasari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer