Langsung ke konten utama

Institusi “Popol Vhu” Yang Terusik Propaganda Media Massa


Dedikasi terhadap kemajuan Negara tidak memandang pamrih, rela berkorban dan selalu mengupayakan yang terbaik untuk kemakmuran bersama. Setidaknya menurut penulis, Hugo Chavez, presiden Venezuela saat ini mengacu pada prinsip-prinsip sosialis untuk mewujudkan sikap tersebut. Bagaimanapun juga, penerapan prinsip-prinsip yang dilakukan oleh seorang pemimpin Negara tidak menutup kemungkinan memunculkan disonansi dalam persepsi masyarakat, apalagi bila media massa memegang peranan dalam eksplorasi disonansi persepsi masyarakat terhadap apa yang menjadi kebijakan pemimpinnya tersebut.
   Awal dikenalnya Hugo Chavez adalah ketika muncul kudeta yang erinspirasi oleh Simon Bolivar, seorang tokoh pembebasan yang memperjuangkan kemerdekaan Venezuela dari penjajahan Spanyol dan menyatukan Amerika Latin, sebuah kelompok perwira junior yang berpangkat Kapten membentuk Pergerakan Revolusioner Bolivarian 200, atau MBR-200. Kelompok ini terdiri dari Felipe Acosta Carlos, Jesus Urdaneta Hernandez, Rafael Baduel dan Hugo Chavez Frias. Mereka berkomitmen membentuk gerakan revolusioner untuk membebaskan Venezuela dari belenggu penindasan. Gerakan MBR-200 dimulai dalam bentuk kelompok diskusi, namun kemudian mereka berinisiatif merancang sebuah kudeta.
   Pada tanggal 27 November, MBR-200 meluncurkan pemberontakan militer mereka. Namun percobaan kudeta mereka mampu dipatahkan. Pada saat percobaan kudeta militer tersebut, tidak ada dukungan dari rakyat pekerja sama sekali. Rakyat pekerja tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka tidak dimobilisasi sama sekali. Karena mereka tidak tahu apakah kudeta ini adalah progresif atau reaksioner, maka mereka pasif saja.
   Ketika kudeta MBR-200 dipatahkan dan terungkap bahwa kudeta ini punya maksud progresif, Hugo Chavez lalu dilihat sebagai simbol perjuangan oleh rakyat miskin. Ia dianggap sebagai pahlawan anti korupsi karena berani melawan pemerintahan yang korup.
   Pada tahun 1996-1997 sebuah survey dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kepopuleran Chavez di mata massa rakyat. Dan ternyata 70% dari hasil survey menunjukan bahwa massa rakyat menginginkan Chavez maju menjadi kandidat presiden. Keyakinan Chavez semakin besar untuk maju menjadi kandidat presiden. Ia menginginkan agar massa rakyat benar-benar berdaulat dan memiliki kekuasaan.
   Di tahun 1997, MBR-200 memutuskan untuk maju dalam Pemilu 1998. Sebagai kendaraan politik di tahun yang sama mereka membentuk partai baru yang dinamakan Pergerakan Republik Kelima (Movimiento V [Quinta] República, MVR). Partai ini mengusung ideologi Bolivarianisme, sebuah ide populis pro-rakyat miskin dengan figur Simon Bolivar, sang pembebas Amerika Latin. Dengan mengangkat isu anti kemiskinan dan anti korupsi, Chavez mampu meraih 56% suara dan memenangkan Pemilu 1998. Kemenangan ini disambut dengan suka cita oleh rakyat miskin Venezuela.
   Tugas-tugas berat sudah menanti Chavez dan kekuatan-kekuatan politik yang mendukungnya. Hal pertama yang dilakukan oleh pemerintahan Chavez adalah perubahan konstitusi yang lama, yang merupakan warisan dari pemerintahan oligarki lama dan hanya menguntungkan kaum kapitalis dan pemilik tanah besar di Venezuela. Dibutuhkan sebuah konstitusi yang perancangannya dan penyetujuannya dilakukan oleh seluruh rakyat Venezuela, sebuah konstitusi yang berpihak pada rakyat miskin. Dalam langkah-;angkah untuk memperbaiki sistem inilah kontroversi terhadap kebijakan Chavez-pun terjadi.
   Kebijakan ekonomi yang dinilai kontroversial terutama menyangkut Undang-undang Reformasi kepemilikan tanah, diantaranya memberi kekuasaan pada pemerintah untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan real estate yang luas dan tanah-tanah pertanian yang dianggap kurang produktif mengundang protes jutaan orang di ibukota, Caracas (11 Desember 2001). Selain, mata uang Bolivar jatuh terpuruk 25% terhadap dolar AS setelah pemerintah menghapuskan kontrol terhadap nilai tukar uang yang sudah dipertahankan lima tahun.
   Bulan April 2002, sekitar 150.000 orang berunjuk rasa, yang dipelopori oleh Carlos Ortega dan Pedro Carmona, yang bertujuan untuk mendukung pemogokan dan protes minyak. Sementara pada waktu yang hampir bersamaan, ribuan pendukung Chavez berada di sekitar istana, menunjukkan kesetiaan mereka pada presiden yang terpilih dengan demokratis tersebut.
   Secara sepihak, pihak oposisi yang melancarkan demo pemogokan tersebut tiba-tiba merubah rute yang sudah ditentukan, berputar ke arah istana sehingga kekhawatiran akan terjadinya bentrokan memacu protes dari walikota Caracas pada Carlos Ortega sebagai orang yang dianggap bertanggung-jawab pada demonstran yang dibawanya.
   Bentrokan pun terjadi diantara dua massa besar tersebut, yang dicoba lerai oleh pihak keamanan. Namun di tengah bentrokan, suara-suara tembakan terdengar. Jelas sekali di kemudian hari, dari hasil dokumentasi dan pengumpulan informasi, diketahui ada penembak gelap yang bersembunyi.
   Pada saat tersebut, nyaris dari 25% penduduk Venezuela memiliki pistol. Tidak terkecuali dengan mereka yang berada dalam demonstrasi besar tersebut. Tembakan-tembakan pun diarahkan, baik oleh pendukung Chavez maupun pihak oposisi yang tidak tahu apa-apa, ke arah tembakan dari penembak gelap. Namun dalam tayangan yang ditampilkan oleh televisi swasta yang sebagian besar dimiliki oleh pihak yang beroposisi pada Chavez, dikesankan seakan penembakan dilakukan oleh pendukung Chavez dengan brutal pada pihak demonstran oposisi.
   Kejadian itu menelan korban 10 orang tewas dan 110 lainnya cedera. Presiden Chavez bukannya melarang aksi-aksi kekerasan tersebut diliput televisi, bahkan aksi-aksi tersebut dibesar-besarkan oleh pihak media yang anti dengan Chavez sebagai kesalahan dan tanggung-jawab Chavez. Meskipun pada kenyataannya mereka menyembunyikan fakta bahwa baik pendukung Chavez maupun oposisi, pada saat tersebut sama-sama menjadi sasaran penembak gelap. Pada saat itu, para perwira militer pembangkang mengharapkan Chavez mengundurkan diri.
   Pada poin yang berujung pada keinginan para perwira militer pembangkang supaya Chavez mengundurkan diri tersebut, mari kita menggaris bawahi tentang tayangan media yang ditampilkan televisi swasta yang sebagian besar dimiliki oleh pihak yang beroposisi pada Chavez. Dalam kasus tersebut, media massanya dikuasai secara oligopoli oleh dua keluarga besar yakni, keluarga Cisneros dan Bottome & Granier Group. Keluarga Cisneros adalah pemilik Venevisión, salah satu stasiun televisi terbesar di Venezuela yang memiliki 70 saluran media di 30 negara, termasuk DirecTV Latin America, AOL Latin America, Caracol Television (Colombia), the Univisión Network di AS, Galavisión, dan Playboy Latin Amerika. Sementara itu, Bottome & Granier Group menguasai Radio Caracas Televisión (RCTV) dan Radio Caracas Radio.
   Sedangkan untuk media cetak, enam media cetak harian terbesar dikontrol oleh kelompok-kelompok keluarga yang juga terbatas. Padahal para pemilik media cetak ini juga memiliki majalah, harian, dan perusahaan hubungan masyarakat (humas).
   Dengan kepemilikan yang oligopolisitik itu, bisa diterka bagaimana besar pengaruh politik mereka dalam menentangan rejim Bolivarian. Sebagai contoh, lima jaringan televisi swasta terbesar yakni, Venevisión, Radio Caracas Televisión (RCTV), Globovisión, Televan dan CMT, mengontrol 90 persen pasar. Sisanya, 5 persen dikontrol oleh televisi swasta kecil. Contoh lain, ketika Teodoro Petkoff, editor El Mundo, sebuah koran sore yang dimiliki oleh Capriles Group bergabung dalam oposisi, ia menggunakan El Mundo untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan politiknya. Belakangan ia juga mendirikan hari Tal Cual, salah satu dari sepuluh besar media cetak di Venezuela sebagai ajang propaganda politiknya menentang Chávez . Satunya-satunya televisi publik adalah Venezolana de Televisión (atau Channel 8).
   Demikian juga, ketika berlangsung pemogokan besar-besaran 64 hari di bulan Desember 2002 sampai Januari 2003, empat stasiun televisi terbesar membiayai sendiri program yang mendukung pemogokan sepanjang hari. Tak ada program komersial, tak ada opera sabun, tak ada film, tak ada kartun dan juga sitcoms. Dalam hari-hari itu, tak kurang dari 17.000 propaganda yang disiarkan untuk melawan pemerintah.
   Dengan demikian, selama pergolakan politik itu rakyat hanya mendapatkan berita dan gambar yang bersifat sepihak dan manipulatif. Di sini media tidak menyampaikan realitas yang sebenarnya. Realitas yang ditampilkan adalah realitas yang dibentuk oleh pemilik media sesuai dengan kepentingan politiknya. Akibatnya, rakyat tidak memperoleh informasi yang benar dan menyeluruh. Potret media ini jelas sekali bertolakbelakang dengan gambaran suci bahwa media bersifat independen, bekerja berdasarkan prinsip check and balance, dan non-partisan.
   Mengenai berita yang bersifat sepihak, bagaimana berita di media massa tersebut dapat begitu signifikan mempengaruhi pikiran rakyat Venezuela di saat itu? Mari kita lihat efek-efek yang dapat ditimbulkan media massa:

1. Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif.
   Menurut Mc. Luhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera). Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan.
Ketika televisi yang telah dimonopoli pihak oposisi Chavez tersebut menyiarkan berita tentang kebijakan-kebijakan Chavez yang anti kapitalisme dan Amerika, rakyat menjadi terprovokasi dengan anggapan bahwa Chavez anti kemajuan dan mendukung komunisme.

2. Efek Afektif
Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya.
Setelah propaganda dilancarkan, masyarakat oleh media massa di Venezuela pada waktu itu diarahkan untuk merasakan apa yang akan menjadi efek dari kebijakan Chavez. Karena mulai terbentuk pikiran Chavez anti Amerika dan mendukung komunisme. Masyarakat Venezuela saat itui menjadi khawatir akan mengalami ketertinggalan terhadap globalisme.

3. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas.
   Demonstrasi besar-besaran yang menuntut kemunduran Chavez adalah bagian dari efek behavioral tayangan berita di televisi-televisi Venezuela yang sudah dimonopoli pihak oposisi Chavez tersebut. Bahkan dalam film The Revolution Will Not Be Televised ditunjukkan ada warga yang berteriak bahwa Hugo Chavez adalah pendukung komunisme, anti kemajuan dan lebih baik mengasingkan diri ke Kuba saja.
    Merujuk pada efek media massa yang telah dimonopoli tersebut, rejim Bolivarian (pro Chavez) kemudian meresponnya dengan menciptakan sendiri makna tentang ”Fairness Doctrine.” Dewan Nasional Venezuela kemudian memperkenalkan reformasi media melalui Law of Social Responsibility in Radio and Television (LSRRT), yang mengusulkan tentang jaminan akses publik terhadap media. Usulan LSRRT ini kemudian memperoleh persetujuan Dewan Nasional Komisi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Komunikasi Sosial Media pada Mei 2003. Usulan ini kontan ditentang oleh asosiasi pengelola media tradisional seperti Venezuelan Broadcasting Guild (Cámara Venezolana de la Indsutria de la Radiofusión). Setelah melalui perdebatan yang alot, LSRRT akhirnya disahkan oleh Dewan Nasional sebelum akhir 2004.
   Dalam usulannya, LSRRT ingin mereformasi struktur kepemilikan media dan juga isi media. Dalam hal isi, LSRRT tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang secara ketat mengontrol isi program media milik swasta. Reformasinya lebih bertujuan untuk memperkuat peraturan yang berkaitan dengan kepantasan tayangan selama masa jam tayang untuk anak-anak, dukungan terhadap saluran-saluran media independen, demokratisasi radio dan televisi, serta akses publik dan partisipasi rakyat dalam komunikasi media.
Dari sudut struktur kepemilikan, langkah konkret yang ditempuh rejim Bolivarian adalah membantu organisasi-organisasi komunitas di seluruh Venezuela untuk memperoleh lisensi bagi penyiaran lokal. Di samping itu, pemerintah juga menjamin hak hidup tidak kurang dari 500 surat kabar komunitas dan tak terhitung website yang ada. Dengan mendorong dan menjamin keragaman media, maka struktur kepemilikan media diharapkan menjadi lebih demokratis. Dari segi isi berita, media-media lokal dan komunitas yang dikelola secara ”amatiran” tersebut, sanggup menangkal monopoli informasi yang selama ini didistribusikan oleh oligarki; mereka mencari dan menceritakan sendiri kehidupannya; dan menyuarakan peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman lokal setempat yang tidak diliput oleh media komersial. Hanya dengan cara seperti ini, rejim Bolivarian percaya bahwa media adalah salah satu pilar demokrasi.
   Melalui jalur media massa juga, setelah Hugo Chavez ditahan di Pulau La Orchila oleh para pejabat senior militer dan Pedro Carmona terpilih menjadi presiden menggantikan Chavez, rakyat Venezuela mulai diarahkan untuk terkena disonansi kognitif terhadap pemerintahan Carmona. Berita-berita yang diatur antara lain; intervensi CIA terhadap Venezuela paska Carmona memimpin sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan bebas dan kapitalisme. Sekali lagi aspek-aspek kognitif, afektif dan behavioral masyarakat Venezuela terusik oleh media sehingga berujung pada demosntrasi untuk menuntut kembali kepemimpinan Chavez di Negara lading minyak nomor lima terbesar di dunia tersebut.
   Tuntutan rakyat akhirnya dipenuhi, Chavez kembali memimpin Venezuela hingga sekarang, di awal pidatonya ketika kembali, Chavez juga menyampaikan bahwa Negara adalah Institusi “Popol Vhu” yang merupakan symbol demokrasi. “Anda dapat menentang saya. Tapi tidak terhadap institusi ini” demikian diungkapkan oleh Chavez.

Daftar Pustaka

Jhi, Amri. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, Jakarta: PT. Gramedia, 1988

Karlinah, Siti. Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbitan UT. 1999
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Eosdakarya. 2007

Thea, Adi. http://www.militanindonesia.org/teori/sejarah/8086-gerak-menuju-sosialisme.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer