Langsung ke konten utama

Aku Korup Maka Aku Ada



Popularitas saat ini sepertinya sudah menjadi sebuah komoditi yang mampu merealisasikan keinginan seseorang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan tak terkecuali untuk meraih jabatan dan melakukan korupsi. Semuanya dikonsep secara manis menjadi tontonan yang patut dan layak diperbincangkan dan dikupas secara dramatis oleh media. Berita menjadi tidak ada ubahnya dengan infotainment hanya beda saja cara penyampaiannya namun konsep yang disajikan tetap sama yaitu: DRAMA.
Penulis mengamati, siapa sih yang berminat untuk membicarakan mengenai sekolah-sekolah yang tertinggal, termasuk SMA 17 Jogja yang bangunannya dirusak secara paksa oleh pihak-pihak yang sedang rebutan warisan tanah sekolah itu? Nyaris tidak ada. Tetapi membicarakan koruptor dan para gundiknya, akan menjadi rumpian seru di saat ibu-ibu sedang berkumpul bersama tukang sayur atau saat bapak-bapak main kartu di pos ronda. Media Indonesia sepertinya sangat tahu mengenai hal ini, sehingga berita seperti itu yang selalu di blow up. Sepanjang rating maupun traffic untuk berita-berita tersebut tinggi maka media akan terus menyajikannya karena pasar (kita sendiri) yang menginginkannya.
Dalam perkembangannya, korupsi bukan lagi merupakan hal tabu atau aib yang tidak layak untuk dikuak karena masyarakat sangat menyukai berita tersebut. Para koruptor-pun tampil bak selebriti ketika pemberitaannya muncul di televisi, nama-nama yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik akhirnya mencuat dan didapatlah popularitas tersebut. Bila itu yang menjadi tujuan media maka agenda setting yang diaplikasikan bisa dikatakan berjalan tepat sasaran. Dari studi yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw pada tahun 1972, agenda setting media terdiri dari dua variabel yaitu media sebagai variabel independen dan publik sebagai variabel dependen. Maka, terlihat jelas bahwa publik akan lebih tergantung pada variabel independen yang ada yakni media. Seberapa besar agenda setting ini berpengaruh adalah melalui bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda setting akan meningkat pada individu-individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kepentingannya.
Di sisi lain, pada dasarnya korupsi bukanlah sesuatu yang baik namun dari agenda setting yang dibuat oleh media, hal yang buruk tersebut dikemas menjadi sebuah berita yang menarik dan membuat publik senang untuk membicarakannya. Secara teori, kata korupsi, kita dapatkan dari Bahasa Belanda yaitu korruptie, dari inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi. Korupsi mengandung arti: kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/ jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi: 
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap menyuap
c. Pengelapan dalam jabatan 
d. Pemerasan 
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan 
g. Gratifikasi
Melalui agenda setting yang terbentuk, tokoh-tokoh politik yang semula tidak begitu populer menjadi sedemikian populer ketika berita korupsinya diangkat oleh media, apalagi jika dibalut cerita perselingkuhan atau pernikahan siri. Apa yang diberitakan media-pun tidak serta merta mempengaruhi untuk memperberat tuntutan atau hukuman bagi para koruptor karena ternyata penjara yang ada untuk koruptor pun berfasilitas layaknya apartemen, narapidana korupsi yang bebas hang out kemana saja dan lain sebagainya, semuanya juga diketahui lagi-lagi karena publikasi media. Publik menyukainya dan membicarakannya.
Maka akan menjadi logis bila asas “Aku Korup Maka Aku Ada” berlaku di sini karena dengan korupsi seseorang dapat menjadi terkenal tanpa peduli terkenal baik atau buruk karena nyatanya hidup sang koruptor juga tetap nikmat akibat lemahnya hukum yang berlaku di Indonesia.

(Ardhi Widjaya)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya