Langsung ke konten utama

Mencitrakan "Pencitraan"


Ketika blog ini ditulis, masih sering penulis melihat tanggapan atas berita presiden Jokowi blusukan ke beberapa daerah disebut "ah itu kan cuma pencitraan doang". Begitu pula kalau ada seseorang yang memposting profil dirinya di media sosial dengan tampilan foto yang sedang nongkrong di restauran mahal atau naik mobil keren, masih sering disebut "paling-paling itu cuma pencitraan" oleh rekan yang lain di media sosial. Sekarang, dengan pernyataan seperti itu, apa arti "pencitraan" dalam benak Anda? 

Kini bila dengar kata "pencitraan" kita jadi berpikir segalanya hanya pura-pura atau tidak sungguh-sungguh ada atau kegiatan yang dilakukan tidak secara substansi alias hanya di permukaan (saja). Penulispun kembali bertanya, sebegitu burukkah sebuah "Pencitraan"?

Dalam ilmu komunikasi, Huddleston menyatakan, pencitraan adalah serangkaian kepercayaan yang dihubungkan dengan sebuah gambaran yang dimiliki atau didapat dari pengalaman. Sedangkan dalam ilmu psikologi, Elizabeth Hurlock menyatakan citra diri merupakan gambaran seseorang tentang dirinya secara keseluruhan, baik yang tercermin dari dalam dirinya (seperti kompetensi, karakter, nilai) maupun tampilan luarnya (penampilan, sikap, bahasa tubuh). Menilik pada dua pengertian tersebut, penulis mengambil hipotesa bahwa pencitraan itu semacam publikasi dari apa yang ada di diri seseorang/ korporat beserta pengalaman yang dimilikinya untuk membangun kepercayaan publik padanya.

Kini coba kita kaji arti kata "Kamuflase". Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, kamuflase adalah perubahan bentuk, rupa, sikap, warna, dsb menjadi lain agar tidak dikenali; penyamaran; pengelabuan. Kalau merujuk pada apa yang jadi persepsi awam mengenai kata "pencitraan" saat ini, menurut penulis lebih tepat bila yang digunakan adalah kata "kamuflase". Misal kita tidak percaya bahwa acara Jokowi blusukan ke pasar tradisional adalah untuk memahami fluktuasi harga bahan pokok, kini kita bisa bilang "ah itu mungkin cuma kamuflase"

Referensi: 
Alma, Buchari. Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan. 2008. Alfabeta
http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/001/001/134

Komentar

Anonim mengatakan…
I think that is one of the most important info for me.
And i'm glad studying your article. However should remark on some common things, The site taste
is perfect, the articles is in reality great : D. Just right task, cheers

My web blog; เสื้อผ้าแฟชั่น

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

ETIKA & ESTETIKA DALAM IKLAN

            Persaingan dalam dunia bisnis kian ketat, berbagai perusahaan berlomba-lomba berkreasi se-kreatif mungkin untuk membuat program marketingnya termasuk pengolahan ide iklan. Lihat saja di televisi, berbagai iklan diputar di sela-sela tayangan program televisi tersebut. Bila iklan tidak dibuat semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih untuk mengganti channel televisi daripada melihat iklannya. Sama juga dengan iklan di media pajang seperti billboard. Laju kendaraan dan padatnya lalu lintas membuat orang sulit untuk fokus pada suatu iklan tertentu. Berdasar dari insight itulah, berbagai pembuat iklan selalu berusaha membuat iklan yang unik, berbeda dan menarik. Etika? Ilmu tentang apa yang  baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral  (KBBI).             Unik dan menarik-nya sebuah iklan bisa menimbulkan kontroversi apabila tidak mengacu pada kaidah etika. Selayaknya pembuatan konsep kreatif sebuah iklan mengacu pada ciri iklan yang baik y