Langsung ke konten utama

Ajakan "Move On" Di HUT RI Ke-70


Apa yang kita rayakan setiap tanggal 17 Agustus? Iya, hari kemerdekaan Republik Indonesia. Lalu bagaimana cara kita merayakannya? Tahun ini, di ulang tahun kemerdekaan negara kita yang ke-70, kita (seolah-olah) diajak ikut merayakan pesta kemerdekaan ini dengan cara "Ayo Kerja". Hal ini menjadi demikian dengan ditunjukkannya logo HUT RI ke-70 yang sudah mulai beredar di awal Agustus 2015 ini. 
     Sesuai dengan pemahaman semiotika visual ala Roland Barthes bahwa terdapat dua klasifikasi tanda di dalam sebuah komunikasi visual yakni tanda implisit dan juga tanda eksplisit. Tanda implisit dalam logo HUT RI ke-70, menurut penulis bisa dimaknai dari gambar siluet burung Garuda yang membentuk angka 70 melambangkan karakter bangsa Indonesia yang perkasa dengan latar belakang merah yang menandakan keberanian bangsa serta warna putih di siluet tersebut menunjukkan kemurnian jiwa bangsa. Simbol eksplisit tampak dari siluet burung Garuda yang membentuk angka "70" karena memang tahun ini negara kita telah merdeka 70 tahun dan juga tulisan 'Ayo Kerja" secara eksplisit menunjukkan ajakan untuk bergerak di usia yang baru ini. Shafiq Muljanto selaku creative director dari Dentsu Strat, sebuah agensi periklanan di Jakarta yang memenangkan pitching pembuatan logo HUT RI ke-70 ini juga menjelaskan makna dari logo baru tersebut yang dapat Anda cermati di sini.
      Selama sepuluh tahun terakhir, pemaknaan logo HUT RI, bagi penulis lebih kepada penjelasan bahwa logo tersebut merupakan logo untuk merayakan HUT RI ke-sekian dan dijelaskan dengan frasa "Kemerdekaan Republik Indonesia". Inilah yang membuat pemerintahan baru ingin menyajikan diferensiasi di HUT RI ke-70 ini.
     Apa yang dipaparkan sebagai makna dari logo HUT RI ke-70 ini seperti mengetengahkan "Move On" sebagai topik utama: move on dari 10 tahun pemerintahan sebelumnya serta move on dari cara gerak kita sebagai rakyat untuk Indonesia di usianya yang baru dengan cara "Ayo Kerja".
     
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya