Langsung ke konten utama

Kabar Baru Bernama Harian Bernas

Nama koran Bernas dikenal penulis sejak kasus pembunuhan salah satu wartawannya yang bernama Udin belasan tahun silam. Sebagai salah satu "dedengkot" media cetak di Jogja, dalam satu dekade terakhir, kehadiran Bernas terasa kurang gaungnya di Yogyakarta. Setidaknya begitu menurut pengamatan penulis apabila dibandingkan dengan harian Kedaulatan Rakyat yang memang eksis sebagai koran tertua di Yogyakarta. Terlebih lagi KR telah bekerja sama dengan asosiasi periklanan untuk membentuk perhelatan akbar insan periklanan bernama Pinasthika yang biasa digelar tahunan. Kemudian, seiring dengan munculnya koran lain seperti Harian Jogja maupun Tribun Jogja, kehadiran Bernas Jogja semakin jarang terlihat.
        Salut ketika media cetak yang muncul sejak 1946 ini masih terus bertahan di tengah persaingan media yang begitu ketat. Sebagai apresiasi terhadap perjuangan Bernas dalam menjaga eksistensinya, di usia media ini yang ke-69, seorang pengusaha bernama Putu Putrayasa yang sebelumnya lebih dikenal sebagai entrepreneur di bidang properti mulai mengambil alih industri media cetak tertua kedua di Jogja ini. 
Edisi lama Bernas Jogja (sumber: wayang.co.id)


Menjadi "Harian Bernas" di usia ke-69 tahun
sumber: wayang.co.id

     Gebrakan awal di "lahir kembali-nya" Bernas ini adalah dimunculkannya promo: langganan Harian Bernas, Gratis Pasang Iklan. Mengingat digitalisasi semakin erat dengan kehidupan masyarakat, Harian Bernas-pun sudah menyiapkan portal berita online-nya yang kini versi Beta-nya sudah bisa diakses di harianbernas.com. Sebagai praktisi Public Relation, penulis menganggap pembaharuan dari Bernas Jogja yang kini menjadi Harian Bernas ini telah menjadi angin segar untuk memperluas cakupan publisitas bagi industri-industri yang mempercayakan kepada Ardhi Widjaya & Co untuk pembuatan strategi Public Relation-nya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer