Langsung ke konten utama

Perencanaan Media (Sosial)

Melakukan promosi di media konvensional seperti televisi, radio, koran dan sebagainya tentu memerlukan biaya yang bisa dibilang cukup besar. Bagi pelaku bisnis start up maupun UMKM tentu hal ini menjadi hal yang perlu dipikirkan berkali-kali untuk mengeluarkan budget dalam pembelanjaan iklan atau promosi di media. Namun dengan semakin maraknya media sosial, usaha yang baru merintis tidak terlalu pusing lagi memikirkan cara berpromosi karena media jenis ini dapat menjadi sarana berpromosi secara gratis. 
     Tentu saja ada hal yang perlu dipahami supaya cara berpromosi kita di media sosial ini bisa berhasil. Dengan melihat apa yang sudah dilakukan oleh pelaku start up sebelumnya, berikut penulis rangkum cara perencanaan media sosial yang dapat dicontoh:

Identifikasi Target
       Kenali produk yang ingin kita promosikan, apakah target konsumennya perempuan dengan range usia tertentu, remaja putra dan sebagainya. Lihat perilaku target market kita di media sosial, mereka lebih sering mengakses media sosial apa. Dengan demikian kita bisa memilih untuk berpromo menggunakan media sosial yang paling banyak diakses oleh target market kita. 
   Di Yogyakarta, dikenal salah satu ethnic fashion designer yakni Lulu Lutfi Labibi yang membangun brand awareness melalui Instagram. Menurut penulis sasaran yang ingin dicapai Lulu Lutfi Labibi adalah para penggemar fashion yang memiliki benchmark para selebriti dengan konsen terhadap kesederhanaan budaya dan falsafah lokal, setidaknya, itu pesan yang tampak dibangun dalam akun instagram yang berfollower lebih dari 36ribu akun ini.




Mengemas Pesan
    Setiap produk yang ingin kita promosikan harus mempunyai nilai sehingga keberlangsungan produk ini bisa bertahan lama di benak target marketnya. Misal produk makanan, sejauh mana sih makanan ini layak dikonsumsi target market? Kita sentuh sisi kecenderungan mereka dalam memilih produk makanan. Kalau banyak yang waspada terhadap kandungan msg dan bahan pengawet, kita bisa mengedukasi target market akan kandungan yang baik bagi kesehatan dalam bahan-bahan makanan yang kita promosikan.
     Konsep edukasi kepada target market bisa kita lihat pada apa yang dilakukan oleh Little Bee Boutique online yang menjual produk fashion muslim anak-anak perempuan ini.


   
Pahami Perbedaan Peran Media Sosial
      Terdapat beberapa media soaial yang paling sering digunakan untuk berpromosi para start up maupun UMKM, yakni Facebook, Instagram, Twitter dan Path. Memang dengan media sosial, interaksi antara produk dengan target market terasa begitu dekat. Facebook dan Instagram cocok untuk hardsell serta membangun story telling, Twitter bisa digunakan seperti blasting promotion atau pesan satu arah dan biarkan konsumen yang tertarik bisa mem-viralkan promo tersebut dan Google+ bisa digunakan untuk memunculkan pesan produk kita ke dalam grup-grup diskusi yang aktif yang disesuaikan dengan target market kita. 

Tuntaskan perencanaan media sosial ini dengan mengatur jam-jam atau waktu untuk posting materi. Lebih efektif kalau di saat kita posting, banyak netizen yang sedang mengakses media sosial mereka kan?
      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer