Langsung ke konten utama

Strategi Memilih Key Opinion Leader di Instagram


Penulis semacam mendapatkan "penyegaran" pikiran ketika melihat feed akun instagram @BudeSumiyati yang memajang foto ekspresi pokerface dengan caption lucu menggelitik. Di media sosial, bintang iklan tidak lagi harus tampak sempurna secara fisik seperti aturan tak tertulis iklan konvensional. Pengaruh atau influence menjadi materi yang lebih diutamakan dalam menempatkan iklan pada endorser media sosial, contohnya akun @BudeSumiyati tersebut.

Namun terkadang kita berpikir, bagaimana supaya iklan kita via endorser mendapatkan engagement yang bagus? Tentunya akan berujung pada brand awareness dan perubahan consumer behavior for tending to buy (the product). Kami selaku consultant yang menangani bidang content marketing, sempat mendapatkan klien yang ingin brand-nya dibuat "noise"-nya oleh beberapa KOL (Key Opinion Leader) di Instagram. Kami sempat menyarankan beberapa troopers yakni pegiat Instagram dengan jumlah follower 1-9 ribu namun mereka memiliki tingkat engagement yang tinggi dengan followernya. Sebab karakter KOL ini  justru lebih ramah di media sosial karena mereka rajin menjawab komentar dan terus mengajak follower-nya berinteraksi. Sayangnya klien kami lebih memilih figur selebgram dengan follower di atas 50K. Tidak dipungkiri, kebanyakan klien masih melihat kuantitas follower daripada kualitas interaksi atau engagement di akun para KOL tersebut walaupun banyak interaksi spam di kolom komentar seperti iklan pemutih-peninggi-pelangsing-pembesar.

Meski terdapat beberapa platform digital yang bisa digunakan untuk melihat tingkat engagement sebuah akun media sosial, sebagai pelaku public relation, ada beberapa pola strategi konvensional yang dapat kami sarankan untuk memilih KOL yang tepat sasaran:


  1. Stalking, perhatikan konsep postingan si calon KOL, seberapa besar potensi mengundang interaksi dan bukan hanya sekedar eksposisi atau ekspresi narsisme pribadi si pemilik akun saja
  2. Cek following dan follower-nya, memang bisa bikin mata "jereng" hanya saja kita perlu tahu tipe-tipe akun yang difollow maupun memfollow calon KOL tersebut sesuai dengan segmentasi brand yang akan kita iklankan atau tidak.
  3. Bahasa caption, perhatikan cara si calon KOL membuat caption. Pilih yang rutin membuat caption bernada interaktif, seperti mengajukan pertanyaan atau memberikan ajakan.
  4. Tanyakan budget, setelah merasa cocok dengan 3 poin tersebut di atas, tanyakan berapa budget promosi via akun tersebut, mulai dari sekedar paid promote, endorse ata pemasangan insta story.
  5. Beri brief, jangan lupa si KOL yang sudah Anda yakini mampu mengiklankan brand/ produk Anda untuk tetap diberi brief seperti bagaimana cara dia berpose dan membuat caption untuk postingan tentang brand/ produk Anda tersebut.






Komentar

Anonim mengatakan…
Scatter tһe sliced chilli over the fish.

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya