Langsung ke konten utama

Basi Tanpa "Point of Information"?


"..... At the point Sir" salah satu dari panelis berdiri sambil mengajukan tangannya ke depan podium speaker. Inilah cara interupsi di debate dengan model asian atau british parliamentary system yang disebut Point of Information. Rasanya jadi kangen debat jaman kuliah dulu, dan memang, debat tanpa POI rasanya garing dan bikin gregetan, soalnya harus nunggu giliran ketika jadi speaker. Luckily dari beberapa kompetisi yang pernah aku ikutin, semuanya menggunakan sistem Australasian dimana POI tidak digunakan.
    POI dalam kehidupan...... terkadang kita sendiri emang merasa sesuatu hal bakalan ga' asik kalo ga' disela. Misalkan ada yang memberi pendapat ke kita, belum selesai pendapatnya kita potong dengan mengajukan argumen sendiri. Mempelajari politik kehidupan melalui debate, menurutku POI bukanlah materi yang cukup efektif untuk menunjukkan sisi kuat kita (walau terkadang intervensi dari orang juga perlu di-cut).
   Bila belajar dari sistem Australasian, memang tidak ada POI di sistem debat ini. Tapi bila kita terapkan dalam kehidupan, bila kita merasa ada pihak yang memberikan pernyataan agresif atau kritikan intervensif, jangan disela dulu karena giliran kita pasti tiba. Setelah itu atur strategi dengan A.R.E.L. Assertion: Nyatakan kepada publik (khususnya pihak A/B yg kita tuju) bahwa kita punya prinsip dan rule yang dimana itu akan annoying sekali apabila dijajah oleh pihak lain. Selanjutnya ungkapkan Reason : alasan yang efektif bahwa kita mempunyai landasan yang established untuk melakukan sesuatu. Munculkan Example : contoh konkret tentang implementasi prinsip ang kita punya beserta bukti - bukti yang akan memunculkan Link Back atau menjadi suatu hal yang dapat membuat lawan terbelalak bahwa "Iya" kita tidak seperti apa yang dia nyatakan sebelumnya. Tapi ingat, kita tidak perlu naif untuk meminta pengakuan dari pihak lawan tersebut. bagaimanapun juga, berdasar dari teori dunia debating, antara government dan opposition tidak akan pernah ada kata mufakat. Yang ada hanyalah which one is the stronger than another one. Jadi tidak perlu mencari pengakuan atas kemenangan kita tapi bagaimana kita merancang diri kita menjadi "Standing Speaker".

Komentar

Anonim mengatakan…
Bravo, what phrase..., an excellent idea
Anonim mengatakan…
membaca seluruh blog, cukup bagus

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya