Tersebutlah kecantikan seorang gadis dari kalangan rakyat jelata pada legenda Babad Tanah Jawa di abad ke-17 yang bernama Roro Mendut. Pesona Roro Mendut telah memikat Tumenggung Wiraguna. Sebagai seorang penguasa, Tumenggung Wiraguna merasa memiliki kuasa untuk mendapatkan Roro Mendut. Namun, sebagai seorang gadis Jawa yang mandiri dan berkepribadian teguh, Roro Mendut dengan tegas menolak cinta Tumenggung Wiraguna dan lebih memilih Pranacitra, kekasih yang dicintainya. Melalui kekuasaan yang dimilikinya, Tumenggung Wiraguna menurunkan perintah pada Roro Mendut untuk membayar pajak yang tinggi kepada pemerintahan Wiraguna.
Roro Mendut yang cerdas menggunakan daya kreasinya supaya mampu memenuhi tuntutan penguasa-nya yang lalim itu. Dengan mengandalkan kecantikan serta pesona erotisme-nya, Roro Mendut berjualan rokok kretek lintingan dengan cara melinting dan mengelem rokok itu dengan gaya jilatan lidahnya yang khas. Teknik berjualan rokok kretek yang seperti ini membuat para pria-pria kaya rela mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan rokok yang telah dijilat Roro Mendut tersebut. Meski berhasil membayar pajak yang tinggi namun Wiraguna sekali penguasa tetaplah penguasa yang tidak ingin gagal. Akhirnya demi mempertahankan cinta sejatinya, Roro Mendut dan Pranacitra-pun memilih untuk mati bersama.
Cara Roro Mendut menggunakan pesona erotisme serta kecantikannya sehingga berhasil menjual rokok kretek-nya hingga mendapatkan omzet yang besar inilah yang kini secara implisit tampil sebagai mitos dalam periklanan yang sering kita temui saat ini: kecantikan dalam pemasaran. Meski cerita Roro Mendut hanya sebuah legenda namun penyajian iklan saat ini yang banyak mengeksploitasi kecantikan serta tubuh perempuan akan sama dengan cerita Roro Mendut yang seolah-olah menyajikan realitas akan keinginan publik padahal itu hanyalah bentukan imajinasi kreator belaka untuk menyajikan “realitas baru” seperti konsep bentukan kapitalis dari si pembuat iklan.
Seperti teori yang disampaikan oleh Jean Baudrillard “Iklan menggambarkan citra/ sistem tanda, iklan merupakan bagian dari fenomena sosial yang disebut dengan consumer society. Objek yang ada dalam iklan sebenarnya terbentuk oleh sistem tanda. Iklan dibentuk dari sign system untuk mengatur makna dari objek/komoditas. Iklan juga dipandang sebagai perangkat ideologis dari kapitalisme”.
Secara lebih mendalam lagi, Jean Baudrillard memiliki pandangan tentang teori simulasi teknologi (technologies of simulacra). Melalui teorinya ia menyatakan bahwa budaya kontemporer yang semakin berkembang merupakan hasil simulasi teknologi (media massa). Teknologi media massa berupaya mengemas sebuah realitas jauh dari realitas yang sebenarnya (hyper reality). Baudrillard memodifikasi teori McLuhan yang menyebutkan “medium is the message” menjadi “medium is the model”.
Mengenai media sebagai model untuk mengemas hiper-realitas bentukan kapitalisme, penulis sinkronkan dengan apa yang dilakukan oleh seorang pengusaha kelas dunia bernama Donald Trump. Trump memiliki sebuah media berupa majalah yang menjadi icon dunia kecantikan internasional yaitu: Harper’s BAZAAR magazine. Sebagai sebuah integrasi, melalui yayasan yang dibentuknya, Trump membuat sebuah ajang kompetisi kecantikan bergengsi tingkat internasional yang bernama Miss Universe. Setiap tahunnya dipilihlah Ratu Sejagad yang diseleksi dari perwakilan perempuan cantik dari berbagai negara di dunia ini. Berikutnya, tampillah mereka dalam BAZAAR untuk menarik minat produk-produk kapital supaya menggunakan mereka sebagai model iklan sehingga tersajilah hiper-realitas hasil bentukan kapitalisme seperti yang diungkapkan oleh Baudrillard. Berikut adalah contoh-contoh iklan yang dibintangi oleh para Miss Universe:
Jennifer Hawkins dalam iklan “Grand Waterfront”
Zuleyka Rivera dalam Iklan “You C1000”
Apa yang dianalogikan penulis di awal tulisan ini adalah sebagai gambaran bahwa pemasaran produk dalam iklan seperti dibayangi mitos Roro Mendut yang bilamana ingin produk ini sukses di pasaran, juallah dengan mengandalkan kecantikan serta pesona tubuh perempuan.
Daftar Pustaka
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
http://www.wikipedia.com/jennifer_hawkins
http://www.wikipedia.com/zuleyka_rivera
http://www.wikipedia.co.id/roro_mendut
Komentar