Langsung ke konten utama

Menempatkan Ide "Out of The Box" Ke Dalam Box

pic source: bisnisukm.com

Strategi maupun ide pengembangan perusahaan selayaknya sudah wajar menjadi konsentrasi kaum eksekutif di level manajerial. Persaingan usaha yang begitu ketat menuntut para manajer untuk berpikir keras mengatur ide dan strategi yang berbeda (out of the box) demi memenangkan persaingan bisnis.
     Terkadang, optimisme ketika menyusun sebuah strategi mendadak menjadi hilang ketika dicegat oleh tanggapan dari top management yang susah memahami pengaplikasian dari strategi yang dianggap nyeleneh tersebut. Terlepas dari nantinya strategi ini akan berhasil atau tidak, sebagai seorang risk taker, para manajer tentu menghendaki strategi yang dibuatnya ini layak untuk dicoba dan dijalankan. Lalu bagaimana cara menempatkan ide yang out of the box ini ke dalam "box" di jajaran top management? Berikut tips yang layak untuk dicoba:

Pahami Perbedaan Generasi
     Apabila memang jajaran Top Management di perusahaan tempat kita bekerja adalah sekumpulan orang yang secara usia lebih dewasa dibanding kita, maka kita perlu sadar walau pemahaman akan strategi yang kita miliki lebih up to date namun pengalaman hidup mereka jauh lebih banyak. Tidak ada salahnya ketika kita berusaha menempatkan diri sebagai "anak" yang ingin belajar pengalaman hidup pada orang yang lebih tua. Setelah itu cari celah dengan menyampaikan contoh kasus yang belum pernah terjadi dalam pengalaman mereka dan sedang terjadi saat ini, lalu tanyakan pendapat mereka mengenai hal tersebut kemudian coba usulkan ide dan strategi kita.

Top Management = Owner? Telusuri Ideologinya!
     Terkadang, para pemilik bisnis bukanlah orang yang memiliki latar belakang di bidang bisnis yang digelutinya tersebut. Bisa saja karena warisan orang tua, karena menangkap peluang yang ada atau karena hobi. Mungkin sebagai manajer yang direkrut oleh mereka, kita punya banyak pengalaman dan latar belakang terhadap bisnis yang mereka bangun tersebut. Namun, sebagai pemilik atau pendiri, mereka tentu punya ideologi dan kultur yang perlu kita telusuri dan adaptasi. Jika dalam proses penelusuran dan adaptasi terhadap ideologi maupun kultur owner tersebut kita tidak mengalami masalah, maka kita akan dapat berada pada posisi ber-chemistry dengan bisnis yang mereka bangun. Sehingga saatnya kita menyusun strategi pengembangan yang memiliki persinggungan terhadap ideologi yang dimiliki oleh si owner tersebut.

    Harapannya, ketika kita menjalankan strategi dengan cara membuat para top management menyatu dengan alur yang kita susun, maka ketika katakanlah strategi tersebut tidak berhasil, setidaknya banyak pihak yang merasa ikut terlibat untuk menyusun strategi baru berikutnya. Dengan demikian tidak akan ada yang merasa aneh ketika strategi out of the box yang baru kemudian dimunculkan.
     

Komentar

Sambal BuKam mengatakan…
mantab gan.. sukses selalu dan salam kenal dari produsen sambal ter enak di dunia sambal bukam

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer