“The high minded man must care more for the truth
than for what people think”
(Aristoteles)
than for what people think”
(Aristoteles)
Seorang manusia cerdas harus lebih memedulikan fakta daripada pendapat orang. Pada faktanya (truth) menjadi seorang yang high minded, berpikiran cerdas, tidak semudah memahami pernyataan Aristoteles tersebut di atas. Bisa jadi, demi predikat manusia cerdas, banyak orang telah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Bagaimanapun juga, definisi pendidikan terbaik itu sendiri masih tergantung pada ideologi tiap – tiap individu.
Juru bicara Depdiknas, Teguh Juwarno sempat mengungkapkan bahwa sistem pendidikan yang kita anut adalah hasil perbandingan dengan negara – negara tetangga yang dirasa telah cukup maju sistem pendidikannya. Ungkapan tersebut seperti yang tertulis pada sebuah harian nasional pada salah satu edisinya di Bulan Mei kemarin.
Memang terdapat justifikasi atas ungkapan juru bicara depdiknas kita. Hal tersebut bisa terbaca pada butir f, g dan i pada ayat 3 pasal 36 BAB X Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional mengenai kurikulum. Pada poin tersebut disebutkan; Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dan dinamika perkembangan global. Kalau melihat dinamika perkembangan global, rasanya iri memang ketika melihat Singapura yang telah mampu membuat National University of Singapore memiliki level yang lebih tinggi dari universitas- universitas manapun di Australia seperti hasil survei versi Newsweek baru – baru ini.
Indonesia tentu ingin mengejar ketinggalan dalam hal mutu pendidikan. Saat ini, pada prakteknya, Indonesia masih menganut sistem output oriented bukan job oriented. Seperti yang diungkapkan Eman Suparto selaku menteri tenaga kerja dan transmigrasi, jumlah sekolah kejuruan di Indonesia jauh lebih sedikit dibanding sekolah umum. Fakta tersebut menyebabkan kurangnya keterampilan pada Sumber Daya Manusia kita ketika memasuki dunia kerja. Perbandingan jumlah sekolah kejuruan dan sekolah umum di Indonesia saat ini memiliki kondisi yang terbalik dengan negara – negara ASEAN lain di mana mereka memiliki jumlah sekolah kejuruan sebanyak 70% dan sekolah umum sebanyak 30%.
Pernyataan yang telah diungkapkan oleh menakertrans tersebut ternyata memiliki korelasi dengan survei United Nations Development Program (UNDP) belum lama ini. Hasil penelitian terhadap 174 negara tersebut menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 109 untuk penilaian terhadap kualitas SDM yang ada. Sungguh jauh berada di bawah negara - negara ASEAN yang lain di mana Singapura berada pada tingkat tertinggi di antara sesamanya yaitu pada peringkat 22.
Bagaimanapun juga, Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN tidak perlu meratapi nasib. Apa yang terdapat di dalam ASEAN bisa dijadikan fasilitas untuk Indonesia menuju ke arah kemajuan agar tidak tertinggal jauh dengan negara anggota ASEAN yang lain. Di dalam ASEAN terdapat AIPO (ASEAN Inter Parliamentary Organization) yang baru saja bertransformasi menjadi AIPA (ASEAN Inter Parliamentary Assembly). Perubahan nama tentu tidak semata – mata dilakukan hanya untuk perubahan secara sebagian saja. Enggan dinilai mirip dengan NGO (nongovernment organization), alasan itulah yang kemudian membawa AIPO menjadi AIPA selain adanya keinginan untuk membuat parlemen ASEAN seperti parlemen Eropa. Memang definisi organisasi lebih mengacu pada suatu perkumpulan yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta program kerja untuk kemajuan internal perkumpulan tersebut sedangkan assembly yang pada dasarnya berarti perkumpulan, mempunyai tujuan yang lebih meluas, dalam hal peningkatan mutu kerja untuk memajukan kepentingan para anggotanya.
AIPA sendiri secara eksplisit terbentuk untuk tujuan salah satunya adalah berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara – negara anggota ASEAN. Demi kesejahteraan jangka panjang, kepedulian terhadap sistem pendidikan adalah titik awal yang sangat penting. Sama halnya seperti yang dilaksanakan oleh parlemen di negara kita – Indonesia, AIPA pasti juga akan melakukan banyak pembahasan demi memenuhi aspirasi rakyat di negara – negara anggota ASEAN. Sebagai proses realisasinya, transformasi dari “Organization” ke “Assembly” semoga tidak menjadi “disfungsi” untuk mewujudkan aspirasi rakyat di bidang kemajuan pendidikan.
Di sini mulai bisa kita tangkap bahwa pentingnya kesepahaman atau persamaan persepsi mengenai pendidikan terbaik. Hal tersebut sebaiknya berorientasi pada persamaan sistem pendidikan, apapun lembaga pendidikannya. Melihat masalah sistem pendidikan di Indonesia yang juga termasuk sering berganti kurikulum, melalui AIPA, Dewan Perwakilan Rakyat kita bisa melakukan legislasi atau pembahasan untuk menciptakan perundang – undangan yang bisa membantu pelajar Indonesia untuk cepat beradaptasi dengan sistem pendidikan sebaik mungkin.
Dalam pelaksanaannya, AIPA dapat meminta kepada setiap wakil parlemen dari negara – negara anggota ASEAN untuk mengajukan proposal sistem pendidikan yang diinginkan. Ketika berada pada proses legislasi, selanjutnya dicari untuk kemudian diputuskan sistem pendidikan yang setara untuk semua negara anggota ASEAN. Setelah itu, AIPA bisa mensosialisasikan hasil legislasi mengenai penyamaan dan perbaikan sistem pendidikan di ASEAN kepada Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) yang anggotanya juga merupakan anggota ASEAN. Karena, sesuai dengan pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi ke-42 SEAMEO Maret 2007 lalu di Bali, SEAMEO telah berperan aktif di bidang pengembangan sumber daya manusia untuk pendidikan , ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya.
Sebagai perkumpulan badan legislatif negara – negara se-ASEAN, usaha penyamaan sistem pendidikan tersebut merupakan sistem kerja yang produktif bagi AIPA sebagai hasil dari legislasi bersama. Untuk menuju pada “aksi” atau tindakan, AIPA lalu menyerahkan hasil pembahasan kepada SEAMEO agar setiap menteri pendidikan di ASEAN bisa membawa blue print dari perundangan baru yang telah dihasilkan. Disinilah peran badan eksekutif: Menteri pendidikan melalui departemen pendidikan untuk melaksanakan program yang telah disepakati di AIPA tersebut.
Proses terbentuknya sistem pendidikan baru (terbaik) yang sudah disepakati harus benar – benar ditunjukkan secara transparan kepada masyarakat. Langkah seperti itu untuk mengantisipasi agar tidak memunculkan ambiguitas atau berbagai pemahaman atas itikad baik AIPA yang kemudian dijalankan oleh pemerintah di negara – negara anggota ASEAN masing – masing. Tujuan selanjutnya adalah supaya rakyat, khususnya di Indonesia, bisa menerima dengan tanggapan positif dan menjalankannya dengan optimis untuk perwujudan meningkatnya kualitas pendidikan yang mengacu pada peningkatan kesejahteraan.
Dalam pandangan masyarakat sipil, mungkin keberadaan AIPA dianggap belum segagah ASEAN. Apapun anggapan itu, AIPA harus tetap melaju gagah untuk mendukung kelangsungan ASEAN. Tidak hanya kelangsungan yang dijaga, tapi keberadaan AIPA memang akan diusahakan untuk membuat ASEAN lebih mendunia. Kenapa tidak? Uni Eropa saja bisa.
Komentar