Langsung ke konten utama

Executives Justification On Habeas Corpus



Aku terinspirasi dari sebuah iklan tentang LCD TV yang mengusung tagline “Borderless”. Di dalam iklan tersebut ditunjukkan bahwa, manusia sejak lahir sudah mulai dibatasi untuk mengekspresikan dan mendapatkan segala keinginannya. Oke, bagaimanapun juga, pemaknaan hidup harus mengandung batasan – batasan tertentu supaya banyak manfaat yang akan didapat oleh kita.

Satu hal yang ingin aku angkat pada tema kali ini adalah tentang pengejaran obsesi yang borderless. Ini merupakan hal positif yang apabila kita mendapat border, justru akan membuat sempitnya mindset kita mengenai masa depan kita nantinya. Hal tersebut adalah justifikasi untuk kita sebagai manusia, khususnya kaum muda untuk terus mencari kesuksesan tanpa batas berdasar atas Habeas Corpus (hak istimewa yang mampu dipergunakan untuk melawan suatu aturan tertentu). Dan Habeas Corpus itu adalah sesuatu yang kita miliki sejak kita lahir ke dunia, untuk belajar bernafas, belajar melihat, belajar berbicara: INTELEKTUALITAS.

Dalam dunia kerja, di mana seorang eksekutif muda tampil sebagai objek yang mendapat banyak aturan untuk melakukan sesuatu termasuk untuk mendapatkan sesuatu-pun juga penuh aturan: gaji lebih tinggi, jenjang karir dll sering membuat sang eksekutif muda tersebut merasa jengah dengan kondisinya sendiri. “Apakah aku bodoh? Apakah aku tidak kompeten?” Asumsi – asumsi negatif seperti itu muncul karena hierarki yang strict pada sebuah perusahaan yang seolah – olah mengalokasikan keberadaan SDM-nya pada level “Karyawan” bukan sebagai seorang mitra dengan segala kemampuannya yang bisa dieksplor untuk dikembangkan bersama seiring dengan perkembangan perusahaan.

Apa salah, apabila seorang yang semula berlabel “karyawan” oleh sebuah perusahaan menjadi berontak untuk pindah ke perusahaan lain dengan dalih “Di sana aku bisa expand kualifikasiku sehingga prestasiku diakui untuk naik level”? tentu saja tidak, karena ini adalah kondisi yang menurut Habeas Corpus sah – sah saja: Ya karena kita semua punya intelektualitas. Karena intelektualitas adalah hasil karya Tuhan yang sempurna, bukankah sayang kalau kita membiarkannya menjadi sempit karena adanya “border”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya