Langsung ke konten utama

Sendiri dalam “Pesta”


Beberapa waktu yang lalu aku membaca artikel di blog milik Haris, temanku SMA yang menulis tentang suatu istilah psikologi bernama Jouissans, semoga aku tidak salah menulisnya. Waktu itu Haris mengambil tokoh Rebecca Blomwood dalam Confessions of A Shopaholic sebagai studi kasus. Rebecca, oleh Haris disebut mengalami –jouissans yaitu sesuatu yang dia lakukan dengan menggebu – gebu untuk memenuhi kepuasannya namun setelah terpenuhi ada sisi yang dirasa kosong sehingga dia selalu ingin melakukannya lagi: gila belanja. Anyhow, thanks for Haris buat artikelnya, that was really enrich me.

Lajang kota dengan segala problematikanya, hal itulah yang diangkat dalam novel Sophie Kinsella yang akhirnya difilmkan oleh Jerry Buckheimmer tersebut. Membahas masalah yang dialami lajang, menurutku memang tidak lepas dari istilah jouissans. Contoh kasus lalin, bisa seperti obsesi dalam mengejar karir, ambisi untuk mempercantik atau memperindah diri dan satu hal yang ingin aku angkat lebih dalam adalah tentang ambisi akan sex sebagai usaha mewujudkan eksistensi sebagai lajang perkasa (diorientasikan untuk lajang laki – laki).

“Aku mungkin melakukan free sex dengan rekan one night stand atau a hi-class slut yang tentu aja aku harus ngumpulin kocek dulu kalo mau ngedapetinnya sih, tapi aku pengen cewek yang aku nikahi nanti adalah seseorang yang sangat aku cintai dan tentunya dia masih virgin...” Wow, ada yang berkata seperti itu padaku secara enteng sambil menunjukkan sekotak kondom bertuliskan “earthquake”, apa maksudnya kondom ini bisa membuat gempa bumi? Yah sebut saja semacam gempa bumi lokal. Aku memang bukan manusia dan laki – laki yang sempurna, di satu sisi, terima kasih telah dipercaya untuk mendengar cerita semacam itu, tapi aku pikir dia mengalami satu hal apa yang disebut jouissans itu tadi.

Dalam analisisku, apa yang dialami oleh si pencerita ke aku ini, seolah – olah dalam pikirannya dia (yang terbaca olehku) ‘Aku ingin seorang perempuan mampu mencintaiku apa adanya, tidak melihat kekuranganku ini, tapi aku menyenangi hal ini (ML everywhere), kalau belum ada yang mampu melihat isi hatiku, ya sudah aku akan tetap begini...(free-safe sex kemana – mana)” Dan dia akan melakukan itu di saat dia merasa hatinya –sepi- selanjutnya merasa puas dan sepi lagi sambil jauh di hatinya dia bergumam “ayolah, ada dong cewek baik – baik yang melihat sisi baikku, biar aku bisa berhenti”

Aku jelas tidak bisa memberi solusi hanya melalui sebuah media tulisan seperti ini. Karena hidup adalah pilihan, bila seseorang sudah menentukan sesuatu yang ingin dijalaninya, ya dia harus dan mau bertanggung jawab terhadap jalan yang sudah dia pilih sendiri.


Rabu malam 20.00, angkringan Wijilan Jogja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer