Langsung ke konten utama

Berawal Dari "Harap Bayar Di Muka!"




            “Harap Bayar Di Muka!” Tulisan itu terpampang di meja kasir dan beberapa dinding di warung angkringan ini. Dua temanku, Bhrata dan Bayu yang datang dari Malang ingin merasakan sensasi kuliner tradisional Jogja, apalagi yang menurutku khas Jogja dan merakyat selain angkringan? Warung angkringan ini terletak di pusat kota Jogja, berada di areal keraton, terdiri dari dua gerobak; satu berisi sayur dan makanan berat serta lauk dan yang satunya lagi berisi jajanan. Di angkringan ini juga bisa memilih minum dengan gula batu atau gula pasir biasa. Sensasi itulah yang ingin dicari oleh dua orang temanku yang merasa menjadi turis asing di Jogja tersebut. Tapi, begitu kami masuk ke warung itu dan disodori tulisan “Harap Bayar Dimuka” langsung menjadi pergunjingan kami sembari membayangkan uang seratus ribu rupiah kami tempelkan tepat di muka si penjual angkringan, kalau penjualnya marah tinggal kami jawab “kan bayar di muka Pak?” Tapi lewat tulisan ini, bukan poin itu yang aku ingin bicarakan.
        Gaya hidup mahasiswa di Malang ternyata secara signifikan berbeda dengan di Jogja. Berhubung topik itu yang tercetus dari dua orang temanku tersebut, akhirnya aku berusaha membaca sekeliling kira-kira orang mana saja yang mereka maksud sebagai “perwujudan” dari mahasiswa Jogja. Akupun memutuskan untuk mengeksplorasi gaya mahasiswa yang malam itu makan di angkringan tersebut.
            Selain karena menu makan yang variatif, hal yang membuat Bhrata kagum dan diamini oleh Bayu adalah; betapa menyenangkan banyak “pemandangan berjalan” di warung angkringan ini. Mereka melihat para gadis yg datang ke angkringan tersebut (yang tampak seperti mahasiswa dengan sepatu kets dan membawa tas casual) terlihat santai dan tidak gengsi makan di angkringan, berbeda dengan rata-rata mahasiswi Malang yang gengsi untuk “gaul” di tempat yang terkesan merakyat seperti sebuah warung angkringan.
            Dari apa yang diungkapkan dua temanku itu, aku mencoba menelaah; mahasiswa Jogja, setidaknya yang diwakilkan dari para pengunjung angkringan ini ternyata cukup memperhatikan penampilan mereka namun untuk urusan makan, mencari tempat dengan “harga mahasiswa” tetaplah menjadi pilihan utama. Di luar cerita tentang “pemandangan berjalan” yang menyegarkan mata itu, ternyata kami juga mendapati “pemandangan fenomena” yang dalam istilahku aku menyebutnya “jemari lincah”.
Angkringan ini tentu saja pencahayaannya hanya redup, tidak terlalu terang. Sepasang muda-mudi yang duduk di meja seberang tempat aku dan dua orang temanku duduk terlihat sangat menikmati momen mereka berdua. Pemuda-nya yang menurutku melancarkan gerakan “jemari lincah” tersebut, tangan kanannya dimulai dengan merangkul pundak si gadis lalu bergerak ke pinggul, ke pantat, mengelus-elus punggung, ke pundak lagi dan dilakukan berulang-ulang sambil sesekali kepala si gadis menggelayut mesra di pundak pemuda yang mungkin adalah kekasihnya itu. Dalam benakku, meski tempat umum, namun pemuda itu tampaknya tidak ingin kehilangan momen untuk melewatkan momen bagi dirinya yang dalam istilah psikologi disebut jouissance (kenikmatan bersifat seksual yang setelah dicapai ingin dilakukan lagi). Joissance*) sendiri, dari yang aku baca, dipopulerkan oleh Jacques Lacan (Perancis) dalam seminarnya "The Ethics of Psychoanalysis" (1959–1960).
Mengorientasikan diriku untuk mengamati fenomena-fenomena seperti itu di angkringan ini, membuatku seperti Bradshaw (tokoh dalam Sex & The City) dan tiga orang temannya yang sedang berada di sebuah restoran di Abu Dhabi dan mengamati; apa yang dilakukan perempuan Arab dengan jilbab besar dan niqab (penutup muka) ketika mereka akan makan? Saat itu Bradshaw benar-benar melihat secara detil dari mulai si perempuan Arab membuka niqab-nya untuk memasukkan kentang goreng ke mulutnya tanpa memperlihatkan bentuk wajahnya. Sama seperti aku dan dua orang temanku yang melihat dari awal si pemuda yang menggerayangi bagian belakang tubuh gadis-nya dan melihat reaksi si gadis. Ketika melihat reaksi si gadis yang menggelayutkan kepalanya di pundak si pemuda, menurutku mungkin jouissance itu dialami oleh mereka berdua.
Ketika aku merasa mulai bosan mengamati fenomena “jemari lincah” tersebut. Aku mengarahkan mataku ke tulisan “Harap Bayar Di Muka” sambil melihat muka perempuan yang menjaga meja kasir. Sepertinya dia tidak ingin terlena sedetikpun supaya tidak ada pengunjung yang tidak membayar makanannya. Tapi ternyata, cara mengamati orang lain haruslah lebih lembut supaya tidak berkesan sebagai mata-mata. Karena si kasir mendadak melihatku yang beberapa menit sempat mengamatinya aku jadi merasa tidak enak sendiri. Beberapa menit setelah itu, begitu Bhrata dan Bayu menghabiskan makanan mereka, kamipun meninggalkan angkringan yang ternyata memberiku inspirasi untuk menulis artikel ini.

*) baca: http://en.wikipedia.org/wiki/Jouissance
Sumber Gambar: http://undas.co/2015/06/suka-di-angkringan-tipe-yang-mana-kamu/



Komentar

I-one mengatakan…
wah,dalam rangka apanih,melakukan penelitian...makasih postingnnya mengenai mahasiswa jogya dan malang..wah,ketahuan suka memperhatikan orang pacaran ya
Ardhi Widjaya & Co mengatakan…
To I-one,
Hobinya sih emang ngamato orang pacaran, eh ternyata malah disuruh sama dosen psikologi komunikasi buat melakukan itu, akhirnya ya jadilah artikel ini, hehe... thx udah mampir ya :)

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

Part of Wregas Bhanuteja "Solitude" - Budi Pekerti

  Wregas Bhanuteja is back with his latest work, the film "Budi Pekerti" or internationally entitled as “Andragogy”. It has been shown in Indonesian cinemas on November 2, 2023. Wregas Bhanuteja acts as director, writer and producer here. In the film "Budi Pekerti", Wregas Bhanuteja raises the complex theme of education and family. This film tells the story of Mrs. Prani (Sha Ine Febriyanti), a counselling teacher who is running for deputy principal at a junior high school. She has a husband who suffers from bipolar disorder due to the pressure of a failed business during the Covid-19 pandemic. Wregas Bhanuteja succeeded in exploring the conflicting issues of social media ethics and mental health. This film also succeeds in presenting complex and relatable characters. Apart from that, Wregas Bhanuteja also succeeded in presenting stunning visuals in this film. This film is set in the city of Yogyakarta, and Wregas Bhanuteja succeeded in capturing the beauty of