Langsung ke konten utama

Belajar Personal Branding Ala Hansel & Gretel



Pernahkah Anda membayangkan terasing sejak kecil dan harus melawan berbagai macam mara bahaya? Hal tersebut telah coba divisualkan dalam sebuah film yang ceritanya dikembangkan dari sebuah dongeng klasik: Hansel & Gretel. Film yang dibintangi Jeremy Renner dan Gemma Arterton ini menceritakan tentang kakak beradik (Hansel & Gretel) yang dibuang oleh orang tuanya sejak kecil di tengah hutan. Di dalam hutan itulah mereka melihat sebuah rumah dari permen. Tanpa mereka sadari sebelumnya, ternyata pemilik rumah permen tersebut adalah seorang nenek sihir. Berawal dari situlah, Hansel & Gretel mulai berusaha untuk bagaimana supaya mereka dapat bertahan hidup dengan cara melawan kekuatan penyihir. 
     Berawal dari keberhasilan upaya Hansel & Gretel mengalahkan penyihir itulah lalu mereka bertekad untuk menyelamatkan anak-anak lain dari ancaman penyihir. Hansel & Gretel-pun terus berusaha meningkatkan keahlian mereka hingga orang-orang mengenal mereka sebagai "The Witch Hunters".
     Perjalanan Hansel & Gretel hingga dikenal sebagai pemburu penyihir dan melakukan pekerjaan itu hingga mendapatkan bayaran tentu tidak terlepas dari upaya Hansel & Gretel untuk terus menerus mengasah dan memfokuskan keahlian mereka. Inilah personal branding yang dapat kita pelajari, bagaimana membuat publik mempercayai keahlian kita adalah dengan terus mengasah dan fokus terhadap pengembangan serta pertahanan kompetensi kita. 
     Bagaimana membuat kompetensi kita menjadi kuat sehingga tampil sebagai top of mind di dalam pandangan publik (orang lain) adalah dengan menekuni kompetensi kita dari level yang terbawah. Seperti Hansel & Gretel yang tidak serta merta dikenal orang lain sebagai pemburu penyihir. Mereka memulai dari nol, sebaggai anak kecil yang polos lalu berusaha sekuat tenaga sebagai survivor melawan penyihir dan disitulah mereka temukan kompetensi mereka yang sesungguhnya. 
     Setelah kita mengenal dan mulai fokus terhadap kompetensi kita, sudah saatnya kita melengkapi diri dengan tools berupa properti dan pencitraan. Hansel & Gretel melakukan pencitraan dengan blow up media koran (karena setting cerita film sekitar di abad 16-17) serta melengkapi properti berupa pakaian yang memudahkan mereka dalam berburu penyihir serta persenjataan yang komplet. Kita yang hidup dalam dinamika modernpun selayaknya melengkapi personal branding dengan tools tersebut. Properti untuk kita dapat disesuaikan dengan kompetensi yang kita miliki, misal bila ingin mem-branding diri sebagai seorang arsitek ya kita harus memiliki perangkat yang mendukung kompetensi kita tersebut. Lalu soal pencitraan, minimal saat ini kita bisa memanfaatkan social media dan gathering profesi/ komunitas untuk melakukan pencitraan.
     Sayangnya dalam pandangan penulis, saat ini masih banyak orang yang mengira personal branding hanya sebatas mempercantik kemasan diri dengan properti dan kemudian mem-blow up-nya melalui pencitraan saja. ketahuilah bahwa personal branding itu bersifat lebih komprehensif dan memiliki impact lebih sustainable. Semoga sukses buat kita semua!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya