Langsung ke konten utama

Advokasi Merk

Dalam salah satu kasus yang ditemui penulis, terdapat sebuah brand yang ketika tim sales-nya membuat customer comment card, agak mengejutkan ketika hasil yang didapat dari pertanyaan "How did you know about our product?" jawaban terbanyak adalah "friend's recommendation". Berarti brand tersebut memiliki kekuatan di Word of Mouth (WOM) marketing. 
     That was amazing for such a viral marketing indeed, meraih kepercayaan konsumen memang terkadang mudah namun mempertahankannya itu perlu tantangan. Bila suatu merk mampu berkembang pesat lantaran promosi yang dijalankan secara bergulir (viral) oleh para konsumennya, maka tidak menutup kemungkinan sisi buruk suatu merk juga bisa bergulir layaknya bola salju begitu cepatnya lantaran pelanggan loyalnya merasa dikecewakan.
     Penulis mencoba mengambil contoh dari konflik yang sering muncul dari keluhan pelanggan kartu kredit yang tidak jauh-jauh dari: tagihan tidak sesuai atau debt collector yang bertindak di luar batas kewajaran. Berikut adalah contoh keluhan pelanggan kartu kredit bank Mega yang digulirkan melalui situs salah satu media sosial lokal:
   Sisi baiknya dari berbagi pengalaman buruk di sosial media tersebut tidak melulu ditanggapi dengan respon "kompor" oleh pengguna sosial media lainnya. Terdapat pemilik akun lain (netizen) yang memberikan pendapat objektif mengenai hal yang menjadi keluhan si pembuat topik, yakni:
    Penulis menarik simpulan, kenapa ada netizen lain yang mengadvokasi (membela) kartu kredit Bank Mega? Bisa jadi dikarenakan netizen tersebut memiliki pemahaman akan seluk beluk kartu kredit termasuk prosedur penagihan dengan menggunakan jasa penagih hutang (debt collector). Dengan demikian, memberikan edukasi kepada pelanggan menjadi hal yang esensial, setidaknya hal tersebut bisa dijadikan "investasi advokasi" ketika suatu saat pelanggan menemukan kekurangan atau kesalahan dari suatu produk/ merk yang membuatnya mempublikasikan ungkapan kekecewaannya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya