Langsung ke konten utama

The Extra Care That Counts

Sumber gambar: mr-jordan.net

Saat berbagai macam program MarComm digiatkan untuk membangun engagement dengan para konsumen dari sebuah brand, maka sekedar memberikan service atau pelayanan akan menjadi kurang relevan sebagai upaya menjaga hubungan dengan konsumen. Ketika sebuah brand berorientasi untuk menjadi bagian dari kehidupan target konsumennya, hal ini dirasa perlu untuk menjaga hubungan di antara keduanya dengan fasilitas berupa "Customer Care". Kenapa care? Karena care atau peduli memiliki makna lebih dalam kepada konsuman daripada sekedar service atau layanan.
     Namun mengganti istilah customer service menjadi customer care juga bukan hanya sekedar mengikuti tren atau latah belaka. Lalu, bagaimana sih menciptakan care bagi konsumen? Simak tips berikut:
  1. Caring Inside: Memberikan care kepada konsumen haruslah dilakukan secara substansi. Oleh sebab itu, perusahaan perlu menerapkan budaya care juga di internal. Misal dengan diwadahi-nya employee community, adanya social activity kepada tim dll. Dengan demikian harapannya secara output, karyawan dapat mentransfer energi care tersebut kepada para konsumen/ pelanggan.
  2. Competency Maintenance: Tim garis depan yang bertugas sebagai customer care haruslah memiliki kompetensi yang cukup di bidang ini. Tak lupa perusahaan perlu senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas kompetensi tersebut dengan coaching maupun training.
  3. Operational Process: Perlu dibuatkan alur yang jelas dalam hal penanganan komplein dari pelanggan. Cukup tampilkan alur ini secara sederhana, mudah dipahami dan diaplikasikan. Ajak tim customer care untuk simulasi dengan role play.
  4. Customers as Stakeholders: Jangan pernah memposisikan konsumen/ pelanggan sebagai raja. Mereka adalah stakeholder yang senantiasa juga memiliki kontribusi untuk pengembangan brand atau perusahaan. Kita bisa mengedukasi mereka dan mereka juga bisa dnegan nyaman memberi saran pada kita melalui customer care
  5. Bring Our Heart On: Lakukan semuanya dengan tulus, sesuatu yang simpel untuk disampaikan memang tapi memerlukan tantangan tersendiri untuk dijalankan.
     Kadang sebagai pemasar ataupun penjual, kita juga akan berperan sebagai konsumen/ pelanggan juga bukan? Tentulah kita akan lebih menyukai diberi kepedulian daripada sekedar sebuah pelayanan. Need the extra care that counts? Yes please!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya