Langsung ke konten utama

Love Me - Love Me Not - Tele Marketing

At the first time you're in: YOU'RE IN!




Seperti itulah ketika pengajuan aplikasi kartu kredit pertama kita mendapatkan approval. Sekali masuk ke dunia kartu kredit maka akan banyak tawaran produk yang berkorelasi dengan transaksi kartu kredit berdatangan. Seperti asuransi, paket voucher liburan dan penawaran untuk pendaftaran kartu kredit dari bank lain. Semuanya akan menghampiri kita melalui panggilan ke ponsel dari para tele marketing.
     Sebelum mendapatkan kartu kredit pertama kita, suara tele marketing adalah hal yang begitu dirindukan, memastikan verifikasi data mendapatkan persetujuan dan kebutuhan bertransaksi dengan kartu kredit akan dapat segera terpenuhi. Tapi ibarat setiap hari kita
 disuguhi dengan menu yang sama, mendapatkan panggilan dari tele marketing menjadi hal yang menjemukan apalagi apabila kita dihubungi di tengah-tengah kesibukan yang sedang kita kerjakan. Target konsumenpun juga menjadi sensitif dan dramatis ketika ibaratnya "perhatian" lebih sering didapatkan dari tele-marketing ketimbang pasangan masing-masing. 
       Sebegitukah panggilan tele marketing perlu diabaikan? Sebagai praktisi yang berkecimpung di dunia pemasaran, kita tentu memahami peran penting dari tele marketing dalam pengembangan sebuah brand. Namun kenapa kita sendiri merasa terganggu dengan kebanyakan aktivitas tele marketing? Berikut penulis coba ulas secara eksploratif:
  1. Merasa Data Kita Diperjual Belikan: Mungkin di awal kita mendaftar kartu kredit A, tapi kenapa asuransi B, C sampai Z tahu kita menggunakan kartu kredit jenis apa dan no HP kita? Sebagai konsumen, kita tentu merasa "Saya apply kartu kredit Anda bukan buat tujuan data saya diperjual belikan". 
  2. Tidak Melihat Kognisi Target Konsumen: Komunikasi yang disampaikan para tele marketer kebanyakan default setting alias sama semua untuk semua orang yang mereka hubungi. Mereka seperti tidak mau paham apakah orang itu hanya menggunakan kartu kredit untuk membeli bahan baku dalam bisnis manufaktur-nya, kenapa ditawari voucher paket liburan yang dalam kebiasaan si konsumen tidak ada hal seperti itu.
  3. Agresif: Kebanyakan tele marketer masih bertujuan "belilah atau bertransaksilah" bukan menyampaikan value dari produk yang mereka tawarkan dan korelasi-nya dengan kebutuhan target konsumen.
  4. Fokus Pada Tujuan Satu Pihak (Si Tele Marketer) Saja: Ketika seorang tele marketer menginginkan si target konsumen menyimak penawarannya, dia akan memastikan kapan si target bisa dihubungi walaupun si target bilang sedang sibuk di berbagai waktu. Ibaratnya pekerjaan tele marketing seperti sedang dilakukan oleh para robot yang tidak bisa memahami sedang dalam kondisi apa si penerima telepon di seberang sana.
Dari empat poin di atas, nomor 1 menjadi poin yang dianggap paling mengganggu. Wajar saja, karena si target konsumen merasa tidak pernah memberikan informasi pribadinya pada perusahaan tempat si tele marketer bekerja. 
      Menurut penulis, esensi dari tele marketing sebenarnya lebih pada menjaga intensitas hubungan antara brand dengan target konsumennya. Dalam artian, si target yang dihubungi adalah pihak-pihak yang memang pernah memberikan informasi data pribadinya seperti no telepon maupun nomor KTP di saat mereka membeli/ mengkonsumsi atau hanya sekedar mencoba (as a tester) produk brand tersebut. Konsep tele marketing seperti ini (yang didapat tidak dengan memperjual belikan data konsumen), setidaknya akan lebih mengena karena si target konsumen akan di-recall mengenai pengalaman mereka mengkonsumsi brand yang ditawarkan si tele marketer.

Sumber Gambar:
http://www.amgmarketing.com.au/call-centers.php

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

Part of Wregas Bhanuteja "Solitude" - Budi Pekerti

  Wregas Bhanuteja is back with his latest work, the film "Budi Pekerti" or internationally entitled as “Andragogy”. It has been shown in Indonesian cinemas on November 2, 2023. Wregas Bhanuteja acts as director, writer and producer here. In the film "Budi Pekerti", Wregas Bhanuteja raises the complex theme of education and family. This film tells the story of Mrs. Prani (Sha Ine Febriyanti), a counselling teacher who is running for deputy principal at a junior high school. She has a husband who suffers from bipolar disorder due to the pressure of a failed business during the Covid-19 pandemic. Wregas Bhanuteja succeeded in exploring the conflicting issues of social media ethics and mental health. This film also succeeds in presenting complex and relatable characters. Apart from that, Wregas Bhanuteja also succeeded in presenting stunning visuals in this film. This film is set in the city of Yogyakarta, and Wregas Bhanuteja succeeded in capturing the beauty of