Langsung ke konten utama

Beriklan Tanpa "Ngiklan" Via Native Advertising


Di dunia publikasi konvensional, tentu kita mengenal istilah advertorial.Yakni sebuah iklan yang terpampang di media cetak seperti surat kabar atau majalah dalam bentuk menyerupai sebuah artikel. Biasanya advertorial ini diberi tanda kolom khusus sebagai pembeda antara berita umum dengan berita iklan.

Kini, ketika perkembangan teknologi memunculkan new wave media sebagai wujud disrupsi dunia digital, advertorial hampir nyaris terlihat seperti benar-benar sebuah berita dalam sebuah portal online. Inilah yang oleh para ahli digital marketing sebut dengan Native Advertising.

Jika dalam advertorial media cetakkonvensional pembaca sudah diberi tanda bahwa materi tersebut berupa iklan, berbeda halnya dengan native advertising. Konsep iklan yang muncul sebagai artikel dalam portal berita online ini benar-benar menyuguhkan informasi yang erat hubungannya dengan insight maupun kebutuhan netizen (masyarakat) sehari-hari. Konten atau materi yang disuguhkan begitu mengalir informasinya hingga diberi klimaks berupa promosi brand yang berhubungan dengan konten berita atau informasi tersebut.

Salah satu contoh Native Advertising yang cukup unik adalah pembuatan microsite ceritatemanmakan.hipwee.com. Dalam kontennya, disampaikan tentang cerita unik soal hubungan pertemanan dari yang gemar makan bersama,hingga jadi sahabat atau bahkan jadi pacar. Semua ulasan informasi dan story telling yang disampaikan oleh microsite dari hipwee tersebut ternyata adalah untuk mempromosikan Bir Bintang Radler 0%.


Proses pengolahan sebuah Native Advertising, untuk mencapai minimal kepada awareness target audiens, secara ringkas meliputi beberapa hal sebagai berikut:
  1. Memilih media online berdasarkan segmentasi konsumen
  2. Menentukan grand issue yang akan digulirkan untuk menyentuh insight dari para target konsumen
  3. Mengklasifikan grand issue ke dalam beberapa sub tema konten yang relevan
  4. Membuat call-to-action supaya target konsumen dapat bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh brand yang sedang berpromosi tersebut.
Saat ini, sebagai PR & MarComm Consulting, Ardhi Widjaya & Co juga bertindak sebagai eksekutor content marketing untuk kebutuhan komunikasi brand klien di ranah digital melalui platform blog di website perusahaan milik para klien kami. Pola kerja ini merupakan hasil adaptasi perilaku konsumen yang sudah banyak "eksis" di dunia digital dan mencari segala sesuatu informasi yang dibutuhkannya melalui mbah Google.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya