“It’s a smarter form of marketing
that starts with listening
and it’s called Public Relations”
-Stephen Waddington-
Begitulah secuplik ungkapan
yang disampaikan Stephen Waddington, pakar Public Relations dari United Kingdom
selama 2 dekade ini. Jika kemampuan mendengar menjadi daya pikat seorang Public
Relations, dengan demikian introvert-pun tentu berpotensi dalam bidang
pekerjaan ini. Dalam pandangan orang awam, introvert terkenal sebagai pribadi
yang pendiam dan suka menyendiri, sedangkan ektrovert lebih terbuka, gemar
berkumpul dan menjadi pusat perhatian.
Percayalah, sebenarnya
seorang introvert tidak se-awkward itu. Ketertarikan seseorang akan dunia PR
tentu dilatarbelakangi berbagai hal, bisa karena kegemaran bertemu banyak orang
ala seorang ekstrovert bahkan pula eksplorasi passion untuk mendengarkan lebih
dalam ala seorang introvert, dia yang lebih menyukai diskusi berbobot dan
memecahkan masalah dengan mengurainya secara mendetail terutama jika sedang
sendirian dalam suasana tenang. Itulah kenapa salah besar jika introvert disama
ratakan dengan sifat pemalu.
Berdasar kemampuan
introvert tersebut, latar belakang pendidikan (apakah linear atau tidak)
menjadi pilihan nomor dua bagi recruiter, sebab kemampuannya dalam mendengar
dan menganalisis yang akan menjadi kunci. Lagipula hal-hal teoretis dapat
dipelajari kapanpun sembari praktik dalam aktivitas komunikasi dunia PR melalui
berbagai macam platform yang marak tersedia di ranah digital. Tentu saja dalam
hal ini, perusahaan akan dengan senang hati melihat upaya yang dilakukan si SDM
untuk meningkatkan soft skill-nya. Terutama terkait hal mendasar dari fungsi
profesi tersebut seperti komunikasi internal dan eksternal perusahaan, lengkap
dengan menjaga citranya dengan baik sebagai dinamika profesi yang penuh
tantangan.
Ketika seorang Public
Relations dituntut untuk menjaga citra diri perusahaan, si PR introvert mampu
berusaha sedalam - dalamnya mengenal karakter sebuah brand. Siapa
marketnya? bagaimana identitas kolateralnya? apa visi misinya? seperti apa
produknya? Hingga relasi di sekitar mengenal sosok PR tersebut sebagai bagian
dari sebuah brand yang mereka bawa. Tentunya ini berhubungan
erat dengan kemampuan seorang Public Relations untuk berkomunikasi sesuai
dengan bagaimana sebuah perusahaan ingin dicitrakan.
Meski demikian, bukan
berarti seorang introvert tidak mengalami kendala kala menjalankan tugas
sebagai seorang PR. Meskipun, di lain sisi dikenal sebagai sosok yang supel,
naluri alamiah seorang introvert tetap membuatnya sangat selektif dalam
pertemanan dan hanya memiliki lingkaran sosial yang kecil untuk sebuah
pertemanan berkualitas. Kendala mulai muncul ketika pekerjaan “Ramah-Tamah” ini
ambigu dengan pertemanan. Beberapa isu mulai muncul ketika seorang PR kesulitan
memisahkan diri dari personal dan profesional. Rasa ingin menarik diri ketika
sedang bad mood melanda, membuat tuntutan berinteraksi dengan orang lain secara
profesional menjadi hambatan yang cukup signifikan. Langkah terbaik yang mampu
ditempuh seorang PR introvert adalah menatap cermin dengan outfit andalan
sebagai seorang PR dan mulai berpikir untuk memisahkan dua peran: personal dan
profesional tersebut. Ibaratnya seperti menjelma menjadi pribadi si introvert
yang lain “Me 2.0”.
Ternyata, menemukan
solusi tentu saja membuat seseorang mampu merasa damai dengan diri sendiri. Terutama
jika memang si PR introvert begitu cinta dengan pekerjaannya. Apalagi sisi
menyenangkan sebagai seorang PR adalah ketika mendapat pengetahuan baru dari
orang lain, menghadiri berbagai perhelatan seru, menciptakan sebuah kampanye
kreatif, menikmati senangnya ketika ulasan dimuat di media, serta kepuasan
ketika citra perusahaan betul-betul diterima baik oleh publik dan internal
karyawannya sendiri.
Contributor: Stella Amirta
Entrepreneur & Former PR Practitioner at 5 stars International Hotels
Contributor: Stella Amirta
Entrepreneur & Former PR Practitioner at 5 stars International Hotels
Komentar