Langsung ke konten utama

Dosen di Antara Expertise & Personal Branding



Tampil menjadi seseorang yang dikenal publik akan keahliannya dalam menjalankan sesuatu tentu memiliki proses yang panjang di baliknya. Dalam ranah public relations, kami mendapat istilah tentang movers & shakers, yakni mereka para figur yang bergerak secara dinamis dan berpengaruh dalam setiap gerakannya. Dengan demikian mereka inilah tipe sosok yang memiliki personal branding yang kuat dengan mengolah keahlian (expertise) di dalamnya.

Konsep tersebut mengingatkan kami saat bertemu dosen milenial dan juga sosok family man di salah satu universitas swasta Yogyakarta, Dr. Arif Sabta Aji yang telah meraih gelar doktoral di saat usianya masih dua puluh enam tahun. Simak hasil wawancara-nya yang menarik berikut:

Apa arti personal branding bagi Anda?

Sebenarnya, masing-masing individu butuh personal branding untuk meningkatkan kapabilitas dirinya. Dengan demikian exposure tentang value kita mampu meningkat dan harapannya dapat menularkan manfaat bagi orang lain.

Bagaimana Anda menanggapi persepsi: gaji dosen kecil?

Soal besar atau kecil gaji itu relatif sih, tergantung di mana kita tinggal itu sangat menentukan gaji terasa besar atau kecil. Kalau tinggalnya di dekat pusat perbelanjaan, hiburan dan gaya hidup maka gaji sebesar apapun akan terasa kurang untuk memenuhi tuntutan di sekitar. Walaupun secara umum memang profesi ini, standard salary-nya tidak lebih tinggi dari profesi industri lain. Sebab, kalau di luar negeri rata-rata pendapatan dosen bisa diperhitungkan. Apalagi di Negara maju, sangat diapresiasi secara nominal. Saya sendiri pernah punya pengalaman saat jadi asisten peneliti di Reading - England, nominal pendapatannya terbilang sangat bagus hanya untuk seorang asisten.

Sudahkah merasa menjadi over achiever below 30 & why?

Wah… masih jauh kalau disamakan dengan over achiever, masih banyak yang belum dicapai, salah satunya menulis buku sesuai kompetensi saya: di bidang nutrisi & kesehatan. Yang jelas bersyukur sekali usia 26 sudah lulus S3 dan perjalanan studi sejak S2 dan S3 mendapatkan beasiswa. Kini setelah dua tahun lulus doktoral dan menjalani profesi dosen, kadang terkenang masa di mana merasa “nerd” karena terlalu fokus menyelesaikan studi. Untungnya hal tersebut tidak membuat saya lupa untuk tetap bersosialisasi dan tentunya act my age hahaha.

Paling nyaman pakai media apa untuk personal branding, caranya?

Meski dibilang jadul tapi saya merasa Facebook masih aplikatif untuk menjangkau publik secara ramah, casual dan lebih luas. Selanjutnya ada Instagram yang mampu memberikan visual menarik tentang diri kita. Yang penting rutin berinteraksi, berbagi info sesuai kompetensi di bidang gizi dan kesehatan. Selain kedua media sosial tersebut, saya juga menggunakan Twitter & Linkedin untuk citra diri yang lebih profesional.

Apa saja target yang sudah tercapai?

Menjadi konsultan bidang gizi dan kesehatan di usia 26 tahun (sebulan setelah lulus S3). Lalu mendapat kesempatan belajar & menjadi peneliti di luar negeri, termasuk hingga kini juga masih aktif terlibat beberapa project penelitian. Kemudian memberi training ke beberapa kota ke luar Jawa. Senang juga pernah bisa memenangkan kontes Millennial Voice, esai juara 1 tingkat nasional tentang tema pencegahan stunting di awal 2020 yaitu masalah gizi pada anak yang sebabkan pertumbuhan lambat, bertepatan dengan hari gizi nasional.

Konsep relasi dosen & mahasiswa yang progresif seperti apa?

Saat dosen & mahasiswa bisa menjadi teman. Sebagai dosen, saya kebetulan memiliki konsep pengajaran all or nothing. Hal ini dimaksudkan ketika sebagai dosen, semaksimal mungkin saya akan jadi fasilitator untuk membantu mahasiswa cepat lulus, tapi semua dikembalikan pilihan ke pribadi masing-masing mahasiswa, saya juga tidak memaksa sebab masa depan ada di tangan mereka sendiri. Lalu konsep teman itu juga berarti saya sebagai dosen tidak demanding bahwa mahasiswa itu sebaiknya harus sudah bisa melakukan A, B, C melainkan sebagai partner untuk sharing ilmu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya