Langsung ke konten utama

Karir & Cerita Adi Ekatama

 


Setelah tahun 2021 silam sempat takjub dengan film Penyalin Cahaya yang memborong penghargaan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia, kini Ardhi Widjaya & Co – Public Relations & MarComm consulting tertarik untuk mengulik kisah produsernya: Adi Ekatama. Meski belum berkesempatan untuk berbincang secara langsung, kami coba merangkum tentang sosok yang memiliki minat di bidang penerbitan dan perfilman ini dari berbagai sumber.

Dari sisi akademik, sebenarnya pria bernama lengkap Adhyaksa Ekatama ini memiliki latar belakang ekonomi dan bisnis. Pria milenial tersebut telah memiliki ijazah bachelor dari University of Oregon dan gelar master dari ITB, semuanya dalam bidang ekonomi dan bisnis. Uniknya, ketertarikannya terhadap dunia film tidak menghalangi karirnya di dunia penerbitan sejak 2015.

Adi Ekatama terjun ke dunia penerbitan sebagai project manager Kompas Gramedia pada tahun 2015, tidak lama setelahnya, beliau dipercaya untuk menduduki jabatan Chief Operating Officer Gramedia Digital  sejak 2016. Berhubung ketertarikannya terhadap dunia perfilman, di tahun 2019 Adi Ekatama mendirikan Rekata Studio sembari menjalankan kepemimpinannya di Gramedia Digital.

DI awal berdirinya, Rekata Studio berorientasi sebagai sarana untuk digitalisasi karya sastra (novel) termasuk lisensi ceritanya untuk dibuat versi sinema-nya kepada production house. Hal ini tentu sinkron dengan potensi karir Adi di Gramedia Digital. Selain itu, Rekata juga memproduksi film untuk dibawa ke berbagai ajang festival. Selain Penyalin Cahaya atau dalam versi internasional berjudul The Photocopier, Rekata Studio sebelumnya membawa film Tak Ada Yang Gila Di Kota Ini ke ajang Busan International Film Festival pada tahun 2019.

Dari profil terkininya, Adi Ekatama sekarang menjabat sebagai General Manager Gramedia Pustaka Utama (penerbitan Gramedia) sejak 2020. Selain sukses di bdiang bakat dan karir, Adi juga terlihat memiliki jiwa yang hangat saat bersama keluarga kecilnya. Sungguh suatu konsep balancing life yang ideal.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Cara Bercerita Leonie, Tako & Ruth Lewat Cupcakestory

  Pepatah lama pernah mengatakan “say it with flower!” Tapi sekarang, tiga ibu kreatif bernama Leonie, Ruth dan Tako dapat mengganti pepatah tersebut dengan “say it with cupcake!” Sebab produk cupcake dengan brand Cupcakestory yang mereka kreasikan memang menyajikan kue dalam wadah kecil – cup – yang dihiasi dekorasi penuh cerita sesuai dengan keinginan pemesannya, dikemas secara personal. Lalu, bagaimana usaha unik ini terbentuk dan apa latar belakang ketiga perempuan ini? Berawal dari Leonie, yang berlatar belakang wirausaha coffeeshop dan homestay yang ingin menjadi lebih produktif di masa pandemi. Perempuan bernama lengkap Leonie Maria Christianti ini sebenarnya sudah lebih dari satu dekade berkutat dengan dunia cupcake decorating namun belum pernah dibranding secara lebih serius. Saat pandemi muncul di quarter kedua 2020, Leonie memaksimalkan potensinya dengan mengadakan kelas online mendekorasi cupcake dan masih tanpa brand. Aktivitas yang dikerjakan Leonie membuat dua rekannya