Langsung ke konten utama

Hoshizora Foundation, Antara Filantropi dan Aktualisasi Diri Megarini

Kami menyambangi Megarini Puspasari sebagai salah satu co-founder Hoshizora Foundation di Kamis siang melalui pertemuan daring dengan Google Meet. Sosok yang mengembangkan lembaga nirlaba bidang pendidikan anak bersama keempat koleganya yakni Ferry Irawan, Wenda Gumulya, Reky Martha dan Andang Kirana, menyambut diskusi bersama Ardhi Widjaya & Co (Public Relations & MarComm Consulting) dengan antusias.

Bagi Megarini, Hoshizora Foundation tidak hanya organisasi yang bergerak di bidang filantropi dengan konsentrasi pendidikan anak-anak saja. Baginya, Hoshizora memberikan sebuah keajaiban yang terangkum dalam tiga kata: Happiness, Passion & Legacy.

Happiness menjadi anugerah ketika Megarini bersama rekan-rekannya mulai mengembangkan Hoshizora Foundation pada tahun 2006. Kebahagiaan itu terpapar nyata tatkala melihat para anak dan orang tua yang berjuang meraih impian untuk mendapatkan pendidikan layak bersama Hoshizora.

Passion penting untuk landasan Megarini dalam menjalankan tugas di Hoshizora Foundation. Dengan minat yang tinggi terhadap bidang sosial dan pendidikan, Megarini mampu menjiwai peran yang dijalankannya dalam organisasi ini dengan penuh sukacita meski harus menghadapi berbagai kendala.

Legacy adalah harapan bagi Megarini. Terutama nantinya diharapkan Hoshizora Foundation mampu dijalankan secara berkelanjutan oleh anak cucu sehingga memberikan amal yang terus mengalir.

Sebelum menjadi yayasan atau foundation pada tahun 2012, Megarini dan kawan-kawannya merintis Hoshizora dalam bentuk komunitas ketika masih kuliah di Jepang pada tahun 2006. Sejak itulah, Megarini sangat nyaman dengan ruang lingkup kerja sebagai inisiator organisasi ini. Kini kolaborasi yang dijalankan dengan rekan co-founder lainnya adalah ada yang bertindak dalam menjalankan maintenance system dan juga risk management.

Figur Megarini yang juga seorang ibu rumah tangga ternyata menjadikan pekerjaannya di Hoshizora sebagai bagian dari cara aktualisasi diri yang mampu membuatnya merasa “kembali segar” saat berkoordinasi di kantor. Mengingat sistem kerja sudah berjalan secara baik, Megarini tidak harus selalu berada di kantor, namun ketika hal tersebut dilakukannya, aktivitas ini terasa seperti refreshing.

Dalam menanggapi soal arti publikasi diri sebagai co-founder Hoshizora, Megarini awalnya menganggap hal tersebut kurang terlalu penting sebab sebaiknya figur pendiri tidak perlu terlihat bagi sebuah lembaga sosial. Namun pada tahun 2014, ada tim Public Relations Hoshizora yang menyarankan supaya Megarini mengikuti kompetisi L’oreal Women of World untuk menaikkan publikasi Hoshizora. Ternyata memang benar, saat Megarini memenangkan ajang kompetisi tersebut, citra Hoshizora juga melesat naik. Apalagi ketika Dian Sastrowardoyo sebagai salah satu dewan juri turut tertarik berkontribusi untuk Hoshizora.

Megarini menutup sesi obrolan dengan menyampaikan berbagai cita-cita yang masih ingin dimaksimalkan bersama Hoshizora. Mulai dari impian pribadi untuk melanjutkan sekolah master yang tertunda lalu merencanakan berbagai inisiasi baru untuk organisasi, hingga keinginannya untuk menghidupkan kembali program Hoshizora terkait Environmental Education Center yang pernah berkontribusi secara langsung terhadap pendidikan lingkungan dan masyarakat lokal.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

Part of Wregas Bhanuteja "Solitude" - Budi Pekerti

  Wregas Bhanuteja is back with his latest work, the film "Budi Pekerti" or internationally entitled as “Andragogy”. It has been shown in Indonesian cinemas on November 2, 2023. Wregas Bhanuteja acts as director, writer and producer here. In the film "Budi Pekerti", Wregas Bhanuteja raises the complex theme of education and family. This film tells the story of Mrs. Prani (Sha Ine Febriyanti), a counselling teacher who is running for deputy principal at a junior high school. She has a husband who suffers from bipolar disorder due to the pressure of a failed business during the Covid-19 pandemic. Wregas Bhanuteja succeeded in exploring the conflicting issues of social media ethics and mental health. This film also succeeds in presenting complex and relatable characters. Apart from that, Wregas Bhanuteja also succeeded in presenting stunning visuals in this film. This film is set in the city of Yogyakarta, and Wregas Bhanuteja succeeded in capturing the beauty of