Langsung ke konten utama

Fitri Hapsari, Perempuan dan Karir Bidang Hukum

 


Menjadi Notaris, awalnya bukanlah sebuah cita-cita yang diimpikan oleh perempuan yang memiliki nama lengkap Fitri Hapsari, SH., M.kn. ini. Fitri yang mengawali studi sarjana bidang hukum memilih karir perdananya dalam bidang jurnalistik penyiaran di sebuah stasiun televisi nasional di Jakarta. Tugasnya di bagian produksi program, memberinya warna dan pengalaman baru sebagai seorang fresh graduate. Lalu, bagaimana permulaan Fitri tertarik menjadi Notaris?

Selepas dari karir sebagai broadcaster, Fitri kemudian pindah ke Semarang dan menemukan karir sesuai latar belakang pendidikan yang ditempuhnya dengan menjadi legal officer di industri perbankan swasta. Pekerjaan Fitri di industri perbankan ini membuatnya kerap berhubungan dengan konsultan hukum maupun Notaris. Jejaring yang dijalin Fitri selama berkarya di perbankan itulah yang makin membuatnya tertarik untuk melanjutkan Studi di Magister Kenotariatan sebagai langkah awal menjadi Notaris.

Kini Fitri Hapsari telah menjalankan profesi Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) berkantor di wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2015. Konsistensi yang dijalankan Fitri untuk profesi ini bukan berarti lepas dari kendala maupun tantangan.

Perempuan yang sempat memiliki keinginan menjadi Public Relations ini menganggap tantangan sebagai Notaris yang paling sering dihadapi adalah tentang proses untuk mengkomunikasikan pada klien terkait aturan maupun perundang-undangan yang berlaku sebagai tahap yang harus ditempuh klien melalui bentuk informasi yang ramah, mudah dipahami dan dapat diterima dengan baik.

"Notaris dalam menjalankan tugasnya harus berjalan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang mengatur. Tak jarang ada pihak yang menganggap hal tersebut kaku dan tidak fleksible sehingga mungkin bagi sebagian dianggap terlalu ribet". Demikian Fitri menegaskan paparan yang disampaikan. Oleh sebab itu, sebagai Notaris, Fitri merasa mengemban tugas edukatif untuk menyampaikan pada klien secara persuasif bahwa kebiasaan umum yang kerap terjadi belum tentu SOP yang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang mengatur.

Di tengah hiruk pikuk karirnya sebagai Notaris, tidak menyurutkan naluri Fitri sebagai seorang ibu yang memiliki peran penting dalam keluarga untuk senantiasa harmoni bersama pasangan dan putri semata wayangnya. “Saya bukan tipikal a family goal person banget sih sebenarnya, yang namanya dinamika berkeluarga pasti aja ada konfliknya, tapi ya memang: keluarga itu rumah” jelas Fitri yang tengah duduk di ruang kerjanya yang lengkap dengan pajangan foto presiden dan wakil presiden serta simbol negara Garuda Pancasila.

Dalam hal pergaulan, Fitri sebulan sekali mengalokasikan waktu untuk bertemu para sahabatnya semasa sekolah dan kuliah. “Bertemu sahabat lama, membuat diri ini nyaman untuk bertukar pikiran soal apa saja, lepas bebas berekspresi, apalagi diselingi obrolan receh dan cerita nostalgia”, pungkasnya.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer