Langsung ke konten utama

Degga Himawan, Bicara Konsep “Host Lokal Gaya Nasional”

 

Yang sering orang lihat tentang sosok Master of Ceremony atau MC adalah cara komunikasi yang mengalir dan tampak mudah. Sehingga acap kali publik berpendapat “Enak ya jadi MC, kerjanya ngomong doang”. Apa benar demikian?

Kami bertemu Degga Himawan sembari brunch menikmati menu di restoran cepat saji. Sebagai host yang sudah memegang mic di wilayah Jogja dan sekitarnya sejak masih remaja, menganggap pekerjaan MC atau host tidak semudah anggapan orang awam. Dalam pengalaman yang dimiliki Degga, menjadi MC perlu banyak persiapan. Bahkan tak jarang klien atau pemilik acara menentukan tema serta konsep busana yang harus dikenakan MC padahal waktu menuju pelaksanaan acara terbilang mendesak.

Kelancaran dan komunikasi di depan publik yang tampak demikian mengalir juga tak lepas dari situasi di balik layar yang penuh upaya. Apalagi dalam beberapa kondisi, gladi resik dapat memakan waktu lebih panjang dibanding susunan acara resminya. Untuk memenuhi kefasihan dalam memandu acara, Degga yang dikenal sebagai MC wedding dan gala dinner korporat ini juga harus melakukan riset sederhana seperti mempelajari latar belakang pemangku hajat, juga jajaran VIP. Hal terpenting yang perlu diingat adalah menjadi adaptif terhadap perubahan situasi yang mendadak, seperti VIP yang batal hadir akan menjadi tantangan bagi MC untuk tetap terlihat antusias kala membawakan acara.

Untuk mendapatkan positioning seperti saat ini, Degga memulai karir sebagai MC sejak masih sebagai remaja SMA. Saat itu mulai dari panggung kecil di sekolah lalu mulai menjajaki event komersial secara reguler dengan salah satu jenama otomotif terkemuka yang mengharuskannya melakukan tur ke beberapa kota. Hingga kini, Degga merasa percaya diri menempatkannya sebagai jajaran MC atau host gala dinner korporat dan juga wedding berkonsep internasional.

Atas dedikasinya sebagai MC, beberapa kali Degga dipercaya membawakan acara yang mengharuskannya sepanggung dengan host skala nasional yang dikenal sebagai public figure di media massa. Saat menerima tantangan demikian, Degga menganggap stage dan event sebagai wahana perang, sehingga MC perlu sarana untuk menjadi "senjata" yang lengkap seperti materi dan tentu saja kepercayaan diri. “Untungnya beberapa host yang sudah go public sangat kooperatif dan bisa nge-blend” paparnya.

Meski terbiasa membuat para undangan merasa nyaman dengan caranya membawakan sebuah acara, Degga tetap menjaga karakternya untuk tetap hadir sebagai sosok yang nyaman bagi relasi terdekatnya di luar profesinya sebagai MC. “Saat bertemu klien dan berada di panggung, penampilan fisik termasuk outfit yang dipakai memang harus terlihat impresif. Namun saat bertemu sahabat, atribut panggung baiknya tidak dibawa-bawa biar kita bisa jadi lebih apa adanya” pungkasnya.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer