Langsung ke konten utama

Mens Rea Dalam Publik Internal (2)



Masih membicarakan mens rea atau yang dalam istilah hukum diartikan sebagai sikap batin seseorang dalam melakukan suatu tindakan (kejahatan). Yang seperti tulisan sebelumnya, mens rea kali ini dielaborasikan dengan ruang lingkup publik internal dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Dalam pembahasan "Mens Rea Dalam Publik Internal (1)", disampaikan terkait peran public relation dalam menjaga hubungan antara pemegang saham (investor) dan level top manajemen mengingat mereka punya  sikap batin (mens rea) yang dimungkinkan untuk dijalankan sesuai keinginan maupun ambisi masing-masing pribadi. masih di ruang lingkup publik internal, bagaimana jika mens rea muncul di kalangan pegawai atau staf dan cara praktisi public relation menangani hal ini?

Sebenarnya, hal ini adalah masalah yang kerap terjadi di sebagian besar organisasi atau perusahaan. Kita ambil contoh soal munculnya sikap batin (mens rea) atas dasar kekecewaan terhadap perusahaan misal bonus tidak transparan, uang lembur kurang, tunjangan yang didapat tidak sesuai dengan level jabatan dan lain-lain. Memang, seorang public relation bukanlah HRD, namun apabila muncul masalah tersebut, sebagai person in charge yang bertanggung jawab menjaga relasi antar publik khususnya di ruang lingkup internal, selayaknya seorang praktisi PR melakukan monitoring motivasi supaya tidak terjadi krisis hubungan top-down (manajemen ke staf). 

Bila sebagian dari staf mengalami kekecewaan dan mens rea (sikap batin) ini mampu mendukungnya menyebarkan isu-isu yang membuat staf lain menjadi berpikiran negatif terhadap perusahaan maka PR harus peka terhadap hal ini. Kemungkinan pihak top manajemen dalam melihat hal ini akan menganggap bahwa pihak-pihak tersebut adalah pihak yang tidak produktif dalam bekerja. Dengan demikian tantangan bagi si PR adalah mampu masuk ke semua lini: menyelami menjadi buruh, pegawai, supervisor bahkan menyelami keinginan top manajemen. 

Setelah berusaha menyelami apa keinginan dari level karyawan, seorang PR sebaiknya mencoba tetap dekat dengan mereka untuk memastikan motivasi mereka dalam bekerja dan berinteraksi dengan manajemen tetap stabil, jadi PR tidak bisa eksklusif semata-mata mewakili top manajemen (saja). Secara paralel, si PR dapat menyampaikan aspirasi para karyawan tersebut ke pimpinan atau jajaran top manajemen tanpa berusaha "menghakimi" atas kebijakan yang mereka berikan. Contoh untuk menjembatani prasangka antar level top-down ini bisa dengan mengadakan sebuah general meeting atau sarasehan. Forum ini dibuat dengan nuansa kekeluargaan supaya bila terjadi perdebatan-pun akan terasa horisontal alur komunikasinya sehingga tidak meninggalkan hard feeling. Manajemen dapat menjelaskan landasan atas kebijakan yang diterapkan dan staf bebas bertanya, hanya saja tugas PR adalah memastikan segala macam bentuk dialog dalam forum ini masih mengarah pada koridor untuk menjaga visi-misi organisasi maupun perusahaan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi